https://proceedings.ums.ac.id/apc/issue/feedAcademic Physiotherapy Conference Proceeding2024-08-15T18:09:52+07:00Adnan Faris Naufal[email protected]Open Journal Systems<p>Proceeding Title: <strong>Academic Physiotherapy Conference Proceeding<br /></strong>Organizer: Department of Physiotherapy, Universitas Muhammadiyah Surakarta<br />ISSN (Online): <a href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/20220105001128159" target="_blank" rel="noopener">2809-7475</a><br />INDEXED: <a href="https://garuda.kemdikbud.go.id/journal/view/27049" target="_blank" rel="noopener">Garuda</a></p> <p><a href="http://apc.ums.ac.id/" target="_blank" rel="noopener">Academic Physiotherapy Conferences</a> are a series of activities that include international seminars and call papers. This activity aims to improve literacy and scientific publications of physiotherapy which specifically discuss cases related to problems of function and movement of the human body.</p>https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4197Management Fisioterapi pada Kasus Bell’s Palsy Sinistra di RSJD dr. RM Soedjarwadi Klaten: Case Study2024-07-26T09:56:37+07:00Ahdiyat Ananta Rachmat[email protected]Adnan Faris Naufal[email protected]S Sukatwo[email protected]<p>Introduction: Ekspresi wajah memainkan peran penting dalam mengekspresikan emosi dan interaksi sosial, Bell's palsy atau dikenal dengan istilah kelumpuhan saraf wajah idiopatik adalah suatu bentuk kelumpuhan atau kelemahan pada salah satu sisi wajah. Perkiraan kejadian tahunan Bell's palsy adalah 23 hingga 37 per 100.000 penduduk. Penyakit ini biasanya datang dengan cepat, bahkan dalam hitungan jam atau semalaman. Fisioterapi berperan dalam pemulihan untuk mengoptimalkan kemampuan fungsional. Tujuan dari artikel ini adalah untuk memberikan manajemen fisioterapi pada kasus Bell’s Palsy Sinistra menggunakan modalitas infrared, electrical stimulation dan facial massage. Case Presentation: Seorang wanita yang berusia 69 tahun yang merupakan seorang pedagang di Klaten, Jawa Tengah. Dari hasil pemeriksaan didapatkan bahwa wajah pasien tidak simetris atau merot, kesulitan menutup mata kirinya dan berkedip, kesulitan saat mengunyah makan dan minum. pasien merasakan kekakuan serta rasa tebal pada sisi kiri wajahnya. Management and Outcome: Manajemen Fisioterapi yang diberikan pada kasus ini berupa infrared, electrical stimulation dan facial massage untuk relaksasi otot serta memberikan efek sedatif untuk memperlancar kontraksi otot-otot wajah, menstimulasi kembali dan melatih kerja otot yang mengalami kelumpuhan. Alat ukur yang digunakan untuk melihat peningkatan kekuatan otot-otot wajah menggunakan Manual Muscle Testing (MMT) Wajah dan untuk menilai derajat keparahan serta fungsional wajah menggunakan Skala Ugo Fisch. Discussion: Artikel ini untuk mengetahui efek dari pemberian infrared, electrical stimulation dan facial massage setelah diberikan sebanyak empat kali terapi pada kasus Bell’s Palsy Sinistra. Conclusion: Seperti yang ditunjukkan pada kasus Bell’s Palsy Sinistra yang mendapat pengobatan berupa infra merah, electrical stimulation dan facial massage dapat meningkatkan kekuatan otot-otot wajah serta dapat meningkatkan aktivitas fungsional wajah.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4198Reliability and Validity of The Visual Analogue Scale in Non-Myogenic Low Back Pain Patients2024-07-26T10:04:08+07:00Ahmada Norma Syinta[email protected]Dwi Rosella Komalasari[email protected]<p>Introduction: Non-myogenic low back pain is a health issue characterized by the primary complaint of pain in the lower back, extending from the costal area to the buttocks, typically radiating down to the legs. LBP can lead to decreased function, reduced work productivity, and high treatment costs. Non-myogenic LBP is classified into four categories based on its causes: herniated nucleus pulposus, spondylitis, spondylosis, and spondylolisthesis. Objective: To determine the reliability and validity of VAS scales in the case of intra rater and inter rater in non-myogenic LBP patients. Methods: This type of research is an observational study with the approach of methodological research and uses purposive sampling, total samples of 55 people. Visual analogue scale is used to measure the pain scale of non-myogenic lbp patients. Results: Intra- rater or test-retest VAS reliability was very high (Cronbach's alpha: 0.951, ICC: 0.951, 95% CI: 0.916-0.971, p<0.001) and inter-rater VAS reliability was very high (Cronbach's alpha: 0.959, ICC: 0.959, 95% CI: 0.929-0.976, p<0.001). The validity test seemed VAS was valid for intra-rater and inter-rater with p<0.05 and r calculated was higher than r of table (r=0.260). SEM value: 0.19 and MDC: 0.55. Conclusion: The visual analogue scale demonstrates reliability and validity for both intra-rater (test-retest) and inter-rater evaluations as a measurement tool for pain scale in patients with non-myogenic LBP.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4199Penatalaksanaan Fisioterapi COPD e.c Brokintis di RSUD Dungus: A Case Study2024-07-26T10:07:21+07:00Angga Prastowo[email protected]Arin Supriyadi[email protected]Multasih Nita Utami[email protected]<p>Pendahuluan: Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah gangguan pernapasan yang umum berdampak pada kesehatan dan ekonomi global yang signifikan. Prevalensi PPOK global diperkirakan sebesar 10,6% dengan 480 juta kasus pada tahun 2020 dan diproyeksikan mencapai 592 juta pada tahun 2050. Di Indonesia angka pasien PPOK sebesar 3,7% dan mempengaruhi 9,2 juta orang, sedangkan di Bali sebesar 3,5%. PPOK ditandai dengan terbatasnya aliran udara dan kematian jaringan akibat peradangan kronis akibat paparan partikel berbahaya terutama asap rokok. Gejalanya berupa batuk, sesak nafas dan produksi dahak yang berpotensi menyebabkan gagal nafas. Brokintis kronis dikaitkan dengan merokok dan melibatkan produksi lendir yang berlebihan menyebabkan penyumbatan saluran napas dan memperburuk peradangan. Presentasi Kasus: Seorang pasien berusia 70 tahun dengan riwayat sesak nafas berulang selama 2 tahun, disertai batuk tanpa dahak. Tanda-tanda vital menunjukkan tekanan daarah 13/80 mmHg , denyut jatung 96x/menit, pernapasan 29x/menit, suhu 36,5°C dan saturasi oksigen 94%. Perkusi dada menunjukkan suara sonor disisi kanan dan gerakan sangkar thorak yang asimetris. Pemeriksaan radiologi melalui rontgen dada menujukkan jantung berukuran besar dan normal, tidak terlihat infiltrate atau nodul di paru-paru. Hilus tidak menebal dan dan sistema tulang baik. Pengukuran : Pengukuran kecacatan menggunakan mMRC, pengukuran sesak nafas menggunakan Skala Borg dan pengukuran sangkar thorak menggunakan midline. Program rehabiliatasi dengan memberikan deep breathing dan pursed lip breathing Pembahasan: Terjadi penurunan tekanan darah sistolik sebesar 10 mmHg, peningkatan kadar oksigen (SPO2) sebesar 1% dan peningkatan sangkar thorak sebesar 0,5- 1cm Kesimpulan: Sistem kardiopulmonal pasien menujukkan perbaikan yang signifikan dengan peningkatan saturasi oksigen dan penurunan sesak napas, namun kecacatan akibat dyspnea menujukkan tidak adanya perbaikan yang signifikan.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4200Penatalaksaan Fisioterapi Broncopneumonia Dewasa di RSUD Dungus: A Case Report2024-07-26T10:11:57+07:00Annida Fathya[email protected]Mulatsih Nita Utami[email protected]Tiara Fatmarizka[email protected]<p>Introduction: Di Indonesia broncopneumonia atau lobar pneumonia terjadi peningkatan prevalensi pneumonia pada semua usia dari 1,6% (2013) menjadi 2,0% (2018). Pemberian pengasuhan fisioterapi yang dibantu dengan pengobatan perlu dilakukan. Broncopneumonia yang dialami oleh orang dewasa lanjut usia yang menderita pneumonia sering kali mengakibatkan pembaringan jangka panjang dan berkurangnya aktivitas sehari-hari; rehabilitasi dini bermanfaat bagi sistem pernapasan, kardiovaskular, dan alat gerak serta kondisi mental pasien di tempat tidur. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan pembukaan dan fungsi normal saluran napas. Case Presentation: Sebuah case report yang dilakukan di RSUD Dungus madiun dengan diagnose medis broncopneumonia pada pasien pria berumur 72 tahun yang berkerja sebagai petani. Keluhan utam pasien berupa dengan keluhan sesak nafas disertai batuk berdahak kental berwarna putih. Diagnosa fisioterapi berupa sesak, penurunan saturasi nafas, penurunan rasio ekspansi thorax, dan penurunan aktifitas fungsional yang diakibatkan oleh sesak. Management and Outcome: dilakukan asuhan fisioterapis sebanyak 5 kali dalam 3 hari berupa breathing control, deep breathing exercise, dan thoracic expansion exercise. Discussion: Pemberian asuhan fisoterapi yang dikombinasikan dengan pemberian nebulizer sebanyak 5 kali dapat meningkatkan kapasitas fungsional paru paisen dan mengurangi gejala dengan membersihkan jalan nafas dan melatih otot-otot pengembang sangkar thorax. Conclusion: Asuhan fisioterapis yang dilakukan dengan pemberian breathing control, deep breathing exercise dan TEE dapat memperbaiki kapasitas fungsional paru pasien.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4201Program Rehabilitasi Fisioterapi pada Kasus Post Fraktur 1/3 Distal Femur2024-07-26T10:21:14+07:00Stevenny Aulia Risbiyanto[email protected]W Wijianto[email protected]A Astuti[email protected]<p>Pendahuluan: Fraktur yang terjadi pada tulang paha bagian distal merupakan masalah yang serius.fraktur metafisis femoralis distal yang merupakan tempat bertemunya tulang kanselus kondilus femoral dengan tulang kortikal diafisis disebut sebagai fraktur supraconylar femoralis. Peningkatan patah tulang disekitar lutut terbukti dan diprediksi akan erus berlanjut. Fraktur femoralis distal (tepat diatas lutut) menyumbang antara 4-6% dari semua kasus patah tulang pada paha. Fraktur ini dapat menyebabkan kematian dengan angka kejadian yang tinggi (18-30% kematian dalam satu tahun. Presentasi kasus: Pasien seorang perempuan dengan usia 20 tahun yang tidak sedang bekerja,mengeluhkan adanya nyeri pada lutut sebelah kanan serta adanya keterbatasan gerak seperti menekuk lutut.. Manajemen dan hasil: Pasien melakukan program rehabilitasi yang terdiri dari pemberian TENS (Trancutaneous Electrical Nerve Stimulations), active exercise, hold relax dan isometric exercise selama 3 kali dalam 3 minggu. Diskusi:program rehabilitasi yang diberikan oleh fisioterapis kepada pasien yaitu TENS, active exercise, hold and relax exercise dan isometric exercise yang bertujuan untuk mengurani nyeri dan meningkatkan kekuatan otot. Kesimpulan: Pasien yang berjenis kelamin perempuan berusia 20 tahun dengan diagnosis Post Op Fraktur 1/3 distal Femur yang telah menjalani program rehabilitasi berupa pemberian intervensi TENS dan beberapa latihan dari fisioterapi sebanyak 3 kali pertemuan dalam 3 minggu menunjukkan adanya penurunan intensitas nyeri dan adanya penambahan lingkup gerak sendi.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4273Penatalaksanaan Fisioterapi dalam Upaya Meningkatkan Kekuatan Otot dan Fungsional pada Kasus Bell's Palsy: A Case Report2024-08-06T10:52:48+07:00Firya Zalfaazza Faaiza[email protected]Totok Budi Santoso[email protected]Muhammad Fauzan[email protected]<p>Pendahuluan: Bell's Palsy didefinisikan sebagai kelumpuhan saraf fasialis atau nervus VII yang terjadi secara unilateral atau satu sisi, dengan penyebab yang tidak diketahui secara spesifik, kondisi ini dikenal sebagai Bell's palsy akibat pembengkakan dan tekanan saraf pada foramen styomastoid dan menyebabkan penghambatan atau kerusakan saraf. Bell's Palsy dapat menyerang individu di segala usia dan jenis kelamin, kejadian tahunan berkisar antara 11,5 hingga 53,3 per 100.000 orang disegala populasi. Prevalensi Bell's Palsy di Indonesia didapatkan 19,55% kasus Bell's Palsy, sering dijumpai pada usia 20-50 tahun dan kejadian meningkat saat bertambah usia diatas 60 tahun. Presentasi kasus: Pasien Ny. F dengan usia 40 tahun jenis kelamin perempuan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien mengeluhkan rasa tebal pada wajah, dan pasien merasa berat saat menggerakan wajah bagian kanan. Pada diagnosa medis pasien terdiagnosa Bell's Palsy Dextra. Managemen dan Hasil: Pasien diperiksa sebelum dan sesudah intervensi, dilakukan pemeriksaan vital sign, palpasi, nyeri (NRS), sensibilitas, kekuatan otot (MMT), dan fungsional (Ugo Fisch Scale). Pasien diberikan intervensi berupa infra red, face massage, dan mirror exercise. Kemudian dilakukan evaluasi pemeriksaan dan diberi edukasi serta home program. Diskusi: Hasil evaluasi pasien Ny. F pada kekuatan otot dengan Manual Muscle Testing (MMT) belum terdapat peningkatan dari T0-T2. Hasil evaluasi gerak dan fungsional dengan Ugo Fisch Scale terdapat peningkatan dari T0-T2, pada T0 dan T1 hasil 75% sedangkan pada T2 hasil meningkat menjadi 78%, peningkatan terrsebut ada pada gerakan mengerutkan dahi dari 70% menjadi 100%. Kesimpulan: Pemberian intervensi Infra red, Face massage, dan Mirror exercise selama 2 kali dalam 2 minggu kurang menunjukan peningkatan kekuatan otot, gerak dan fungsional wajah pada kasus Bell's Palsy, maka dari itu diperlukan tambahan waktu dalam melakukan treatment fisioterapi agar hasil evaluasi kekuatan otot, gerak dan fungsional wajah pada kasus Bell's Palsy dapat mengalami peningkatan yang signifikan.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4274Efek Mulligan Mobilization with Movement (MWM) terhadap Kemampuan Fungsional pada Individu dengan Kasus Osteoarthritis Lutut: A Case Report2024-08-06T10:56:17+07:00Nabila Ayundasari[email protected]Arif Pristianto[email protected]Guntur Rusmana Putra[email protected]<p>Introduction: Osteoarthritis lutut merupakan penyakit sendi degeneratif yang biasanya disebabkan oleh keausan dan hilang tulang rawan sendi secara progresif. Osteoarthritis (OA) lutut sering terjadi pada lanjut usia dengan gejala klinis yang umum terjadi adanya nyeri lutut yang muncul secara bertahap dan memburuk saat beraktivitas, lutut terasa kaku dan bengkak, nyeri setelah duduk atau istirahat dalam jangka lama. Penderita OA lutut mengalami peradangan sinovial dan fibrosis kapsul sendi yang menimbulkan rasa nyeri dan hilang rentang gerak sendi sehingga berpengaruh pada penurunan kemampuan fungsional sehari-hari. Case Presentation: Seorang laki-laki penderita OA lutut kanan dengan keluhan nyeri saat berjalan jauh, jongkok, dan naik turun tangga. Dilakukan upaya fisioterapi untuk meningkatkan kemampuan fungsional sehari-hari dengan intervensi Mulligan Mobilization with Movement (MWM). Management and Outcome: Pemberian intervensi Mulligan MWM dilakukan pada posisi weight bearing dan non-weight bearing dengan arah rotasi medial dan anterior glide. Setelah dilakukan terapi sebanyak tiga kali didapatkan hasil adanya penurunan nyeri, peningkatan lingkup gerak sendi (LGS), dan peningkatan kemampuan fungsional. Discussion: Pada intervensi Mulligan MWM terdapat mekanisme neurofisiologis pada level spinal dengan gerakan lutut berulang sehingga dapat mengurangi intensitas nyeri. Adanya efek biomekanis mengakibatkan perubahan pola gerak sendi yang terbatas sehingga dapat memulihkan rentang gerak optimal. juga, efek neurologis gerakan aktif dan pasif dapat merangsang reseptor sensorik dan mengirimkan sinyal ke sistem saraf pusat. Informasi tersebut berpengaruh pada persepsi nyeri dan propioseptif yang bisa meningkatkan pengendalian motorik dan koordinasi motorik sehingga terjadi peningkatan kemampuan fungsional. Conclusion: Adanya efek untuk peningkatan kemampuan fungsional pasien OA lutut dengan Mulligan Mobilization with Movement (MWM).</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4275Description of Postural Balance of The Body of Elderly Age based on Age Category 45-90 Years2024-08-06T10:59:42+07:00Etik Yunita Sari[email protected]Dwi Rosella Komalasari[email protected]<p>Introduction: Balance is a position to maintain a certain position in both static and dynamic conditions. Low balance performance is caused by age and cognitive function and increases fall risk. Objective: To determine the difference between static and dynamic postural balance in the elderly based on age categories of 45-90 years. Method: This research used an observational study method with a cross-sectional study approach. There were 220 people involved in this study and conducted by purposive sampling method. Static balance was measured by mCTSIB and dynamic balance used TUG. The cognitive function was measured by the MOCA-Ina questionnaire. The Anova test was conducted to analyse the data. Results: There was a significant difference between static and dynamic balance based on age category 45-90 years (p<0.05). No significant correlation between cognitive and dynamic balance in those aged 55-64 years, and no significant correlation in static balance in those aged more than 70 years. Conclusion: the age group over 70 years has the lowest dynamic balance (TUG) and static balance (MCTSIB).</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4276Pengaruh Intervensi Stretching dan Scar Massage terhadap Kasus Post Surgical Wound e.c post Debridement, External Fixation, STSG: A Case Report2024-08-06T11:07:14+07:00Leony Dewinta Putri[email protected]Totok Budi Santoso[email protected]Nilam Nur Hamidah[email protected]<p>Pendahuluan: Fraktur terbuka merupakan cedera dimana tulang yang patah terkena lingkungan luar akibat traumatis pada jaringan lunak dan kulit. Fraktur terbuka memiliki kejadian tahunan sebesar 30,7 per 10.000 di Inggis serta fraktur tibialis memiliki insiden tertinggi sebesar 3,4 per 100.000. Fraktur terbuka biasanya melibatkan debridement untuk menghilangkan jaringan mati agar memungkinkan penyembuhan jaringan lunak. Selain itu pemberian autograft juga membantu pengobatan kecacatan kulit yang besar. Setelah dilakukan autograft biasanya akan mengakibatkan keterbatasan pada ROM terutama jika cedera terjadi disekitar sendi. Fisioterapi berperan penting dalam membantu permasalahan yang terjadi dengan latihan dan scar massage yang bertujuan untuk meningkatkan ROM dan meningkatkan aktivitas fungsional sehari-hari. Presentasi Kasus: Seorang wanita berusia 22 tahun, dengan diagnosa medis post surgical wound e.c post debridement, screw revision (22/12/2023), e.c implant expose, e.c wound dehiscence post remove External Fixation change to Intramedullary Nailing (ETN) (28/7/2023) e.c post debridement, external fixation, STSG (10/3/2023). Dimana mengalami kecelakaan lalu lintas pada 9 Maret 2023, dan pasien datang dengan kondisi multiple fracture: CF Right Clavicle Middle Third Allman Group 1, CF Right Shaft Proximal Phalanx Index Finger, OF Right Tibia Distal Third Gustillo Anderson Grade 3B, OF Right Base Metatarsal 5th Toe. Permasalahan fisioterapi yang terdapat pada pasien, yaitu keterbatasan gerak aktif Range of Motion (ROM) penurunan kekuatan otot pergelangan kaki, serta terdapat perbedaan antropometri lingkar segmen di area pergelangan kaki dan penurunan aktivitas fungsional. Metode dan Hasil: Subjek diberikan latihan AROM dan PNF (contract-relax) serta scar massage selama 2 minggu yang dilakukan 2 kali seminggu. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan instrument pengukuran Range of Motion (ROM), Manual Muscle Testing (MMT), Antropometri, dan Aktivitas Fungsional Lower Extremity Functional Scale (LEFS). Diskusi: Dari beberapa penelitian pemberian intervensi stretching dengan metode PNF (contract-relax stretching) terbukti mampu meningkatkan ROM dan untuk mencapai perubahan ROM yang lebih, stretching PNF perlu dilakukan sekali atau dua kali seminggu. Serta pemberian scar massage pada area skin graft dengan teknik efflurage, kneeding serta friction terbukti mampu meningkatkan lingkup gerak sendi didalam jaringan yang dipijat. Kesimpulan: Terdapat peningkatan pada ROM, antropometri, aktivitas fungsional setelah diberikan latihan (AROM dan PNF contract-relax stretching) dan scar massage selama 2 minggu.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4277Physiotherapy Management in Cases of Bell's Palsy Dextra et Causa Post Craniotomy with Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) and Facial Exercise: Case Reports2024-08-06T11:15:14+07:00Achmad Kukuh Ramahandika[email protected]Agus Widodo[email protected]Sri Isnin Kadarti[email protected]<p>Introduction: Bell's palsy is a condition of peripheral facial paralysis or weakness which is generally idiopathic, occurring due to interference with nerve VII in the stylomastoid foramen. Although the majority of patients recover completely, a small proportion experience different sequelae. Although its etiology is not yet fully understood, its association with certain viral infections has been recognized, causing neuroinflammation and other pathological processes. Risk factors such as elevated blood sugar, uncontrolled blood pressure, and migraines can increase susceptibility to this paralysis. Case Presentation: This study reported a men patient, 16 years old with bell's palsy dedxtra post craniotomy after an accident on November 2023 and there was bleeding in the brain. The patient was taken to Dr. Sardjito General Hospital for surgery and felt that the right side of his face was thickened, numb and sensitive after the operation. Management and Outcome:. The measuring instruments used in this study were the Numeric Rating Scale (NRS) to measure the degree of pain felt by the patient, Manual Muscle Testing (MMT) to measure the degree of muscle strength, Ugo fisch performed on patients to provide information regarding facial function assessment, and House-Brackmann Score to assess nerve damage in facial nerve paralysis and Transcutaneous electrical nerve stimulation intervention. Discussion: There was a decrease in pain as measured using a numeric rating scale from 3 to 2, an increase in muscle strength from 3 to 4, an increase in the degree of functional activity from 26 points (poor condition) to 50 points (medium condition), there was an increase in the score on the House- Brackmann Score from grade V (severe dysfunction) to grade IV (moderate and severe dysfunction). Conclusion: Comprehensive treatment with physiotherapy techniques has a positive effect on patients with Bell's Palsy. This research may be a reference to guide other physiotherapists in carrying out rehabilitation for Bell's Palsy patients.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4278Validity and Reliability of The Verbal Descriptive Scale in Non-Myogenic Low Back Pain Patients2024-08-06T11:26:09+07:00Alfi Salatina[email protected]Dwi Rosella Komalasari[email protected]<p>Introduction: Pain is the most common problem in patients with low back pain (LBP) non-myogenic. There are many tools to measure pain, one of which is the Verbal Descriptive Scale (VDS). It needs validity and reliability to evaluate pain in patients with non-myogenic LBP. Therefore, this study aimed to determine the validity and reliability of VDS to evaluate pain in patients with non-myogenic LBP. Method: This research was an observational study method with a methodological research approach and a purposive sampling technique. The total sample was 55 people. Results: The validity of VDS showed well with p<0.001 and r calculated was higher than 0.9. Intra-rater and inter-rater reliability of VDS revealed excellent with Cronbach Alpha and Intra Class Correlation were more than 0.9 and p<0.05. While the SEM=0.068 and MDC=0.188. Conclusion: The VDS was valid and reliable for measuring pain in patients with non-myogenic low back pain.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4279Manajemen Fisioterapi Bekas Luka Bakar Grade 2 pada Anak: Case Report2024-08-06T11:28:09+07:00Lingga Vitasari[email protected]Dwi Rosella Komalasari[email protected]Nilam Nur Hamidah[email protected]<p>Introduction: Sekitar 86% luka bakar yang disebabkan oleh thermal lebih sering terjadi daripada faktor penyebab lainnya seperti listrik, gesekan, radiasi dan bahan kimia. Populasi anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan mengalami luka bakar dikarenakan rasa ingin tahu tinggi dan pemahaman yang terbatas mengenai suatu risiko perbuatan tertentu pada lingkungannya. Rehabilitasi fisioterapi pasca luka bakar sangat penting di karenakan bekas luka bakar yang timbul dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Case Presentation: Desain penelitian ini dengan menggunakan metode pendekatan studi kasus. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Prof. Dr. I.G.N.G Ngoerah Bali pada bulan Januari hingga Februari 2024 pada seorang anak kecil berumur 4 tahun dengan kasus post debridement dan Splint-Thickness Skin Graft (STSG) pasca luka bakar akibat minyak panas yang dialaminya bulan Oktober 2023. Management and Outcome: Penatalaksanaan fisioterapi dalam 4 sesi terapi dengan active exercise (ankle pumping, heel raises, towel toe curl exercise), active resisted exercise (bicycle exercise), passive assisted exercise, stretching dan scar massage. Pemeriksaan fisioterapi dengan integritas kulit, vancouver scar scale, manual muscle testing untuk kemampuan kekuatan otot, pengukuran lingkup gerak sendi dengan goniometer, pengukuran lingkar segmen dengan antropometri, 5D pruritus scale untuk pemeriksaan skala gatal dan Foot and Ankle Disability Index pada kemampuan fungsional pada ankle pasien. Discussion: Dalam rehabilitasi luka bakar, pemberian exercise merupakan salah satu intervensi yang memainkan peran penting dalam memaksimalkan potensi rehabilitasi korban luka bakar. Conclusion: Penatalaksaan fisioterapi bekas luka bakar pada anak diperlukan untuk meningkatkan kemampuan fungsional dan mencegah keparahan dari keluhannya.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4280Manajemen Fisioterapi pada Kasus post Sectio Caesarea Eracs e.c. Oligohidramnion: Studi Kasus2024-08-06T11:30:53+07:00Nurvadhanti Intan Shabarina[email protected]Taufik Eko Susilo[email protected]Galih Adhi Isak Setiawan[email protected]<p>Pendahuluan: Sectio caesarea (SC) merupakan tindakan dalam proses persalinan janin dengan cara memberikan sayatan terbuka pada perut dan sayatan pada rahim ibu. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya persalinan secara SC, yaitu oligohidramnion. Dampak pasca SC, yaitu peningkatan nyeri incisi dan penurunan kemampuan aktivitas fungsional pasien pasca SC. Oleh karena itu, tujuan dari studi kasus ini adalah mengurangi nyeri dan meningkatkan kemampuan aktivitas fungsional pasien pasca SC. Presentasi Kasus: Pasien Ny. Y usia 28 tahun dengan diagnosa medis Post Sectio Caesarea Eracs e.c. Oigohidramnion. Keluhan pasien: nyeri di luka bekas SC dan penurunan aktivitas fungsional pasien pasca SC. Inspeksi statis: adanya luka bekas SC pada area perut pasien. Inspeksi dinamis: raut wajah pasien terlihat menahan rasa nyeri saat bergerak. Pemeriksaan palpasi: adanya nyeri tekan di luka bekas SC area perut pasien. Pemeriksaan nyeri dengan numeric rating scale: adanya peningkatan nyeri pasca SC. Pemeriksaan aktivitas fungsional dengan kenny self care index: adanya penurunan kemampuan aktivitas fungsional pada pasien pasca SC. Managemen dan Hasil: Pasien melakukan terapi sebanyak 2x dengan intervensi, berupa deep breathing exercise, free active exercise, pelvic tilt exercise, pelvic floor exercise, dan latihan mobilisasi. Setelah 2x terapi, pasien dievaluasi dengan dilakukan pengukuran nyeri didapatkan hasil adanya penurunan nyeri dan pengukuran kemampuan aktivitas fungsional dengan hasil adanya peningkatan kemampuan aktivitas fungsional pasien pasca SC. Diskusi: Pasien pasca SC yang mengalami peningkatan nyeri dan penurunan kemampuan aktivitas fungsional dengan diberikan intervensi, berupa deep breathing exercise, free active exercise, pelvic tilt exercise, pelvic floor exercise, dan latihan mobilisasi berdasarkan hasil evaluasi penelitian ini dan beberapa literatur telah terbukti memberikan dampak dalam penurunan nyeri dan peningkatan kemampuan aktivitas fungsional pasien pasca SC. Kesimpulan: Program terapi sebanyak 2x dengan intervensi berupa deep breathing exercise, free active exercise, pelvic tilt exercise, pelvic floor exercise, dan latihan mobilisasi terhadap Ny. Y, didapatkan hasil terdapat penurunan nyeri dan peningkatkan kemampuan aktivitas fungsional pasien secara mandiri.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4281Reliability and Dominant Factors of The Indonesian Version of Social Participation in Non-Myogenic Low Back Pain Patients2024-08-06T11:43:23+07:00Muhammad Rais Hasan Firdaus[email protected]Dwi Rosella Komalasari[email protected]<p>Introduction: Low back pain (LBP) reflects pain between the lower edge of the ribs and the buttocks. LBP can affect mental well-being, quality of life, and work activities. Therefore, this study aimed to determine the reliability, validity and dominant factors of social participation in patients with non-myogenic LBP using the PSSS scale. Method: This research used an observational study with a cross-sectional and predictive approach. Used purposive sampling data collection techniques, the total sample was 55 respondents. Results: The reliability of the PSSS scale in non-myogenic LBP patients with a Cronbach alpha value = 0.982 (excellent), the ICC value shows >0.9 (very high agreement) for all items. Construct validity was <0.05 (valid) and >0.40 for all items, except item number 13 (r=0.277 or poor validity). Multiple linear regression showed no significant association between pain and range of motion to social participation (p>0.05). Conclusion: The PSSS questionnaire is reliable regarding intra-rater as a tool for measuring social participation in non-myogenic LBP patients. Pain and range of motion did not associate with social participation in patients with non-myogenic LBP.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4282Manajemen Fisioterapi pada Post Partum Sectio Caesarea: A Case Study2024-08-06T11:45:26+07:00Zannuba Alifah Chafsoh[email protected]Isnaini Herawati[email protected]Nurul Muflihah[email protected]<p>Introduction: Operasi Caesar adalah prosedur pembedahan yang dilakukan untuk memperlancar persalinan bayi melalui sayatan yang dibuat pada perut ibu yang direkomendasikan dalam situasi di mana persalinan normal dapat menimbulkan risiko bagi ibu, bayi, ataupun keduanya. Menurut WHO, pada tahun 2021 operasi Caesar meningkat secara global dan kini mencakup lebih dari 1 dari 5 (21%) seluruh kelahiran. Fisioterapi dapat berperan dalam meningkatkan status fungsional pada kondisi pasca SC dengan mobilisasi. Latihan gerakan dapat mengurangi nyeri, meningkatkan kekuatan otot, menyembuhkan luka, dan kegiatan fungsional yang mandiri Case Presentation: Seorang pasien berusia 26 tahun dengan G1P0A0 usia kandungan 39+1 minggu, pada hari Selasa 16 Januari 2024 pukul 00.00 WIB datang ke RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta setelah mendapat rujukan dari RS Queen Latifa karena sudah mengalami ketuban pecah sejak Senin sore namun belum terjadi pembukaan, mengalami preeklamsi, dan perut terasa kencang. Di RS Queen Latifa pasien di USG pinggulnya sempit. Kemudian di PKU dilakukan pacu tapi masih pembukaan 2. Setelah itu, dilakukan operasi sesar pada hari Rabu 17 Januari 2024 pukul 7 pagi. Setelah operasi pasien mengeluhkan nyeri di bagian perut dan nyeri semakin terasa saat bergerak. Saat ini pasien mengeluhkan belum mampu duduk karena masih merasakan nyeri Management and Outcome: subjek diberikan latihan breathing exercise setiap 2 jam dengan 8 kali repetisi untuk mengurangi nyeri, ankle pumping dilakukan sebanyak 8 repetisi setiap hari untuk menurunkan oedem pada kedua kaki pasien, pelvic floor exercise dilakukan sebanyak 8 repetisi tiap 2 jam yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pelvic floor dysfunction, latihan mobilisasi yang diberikan setiap 3 jam sekali untuk meningkatkan kemampuan fungsional pasien. Setelah diberikan latihan, didapatkan hasil penurunan nyeri gerak dari skor 5 menjadi skor 4, adanya penurunan oedem dari 52 cm menjadi 50 cm pada ankle dextra dan dari 52 cm menjadi 49 cm pada ankle sinistra terdapat peningkatan kemampuan fungsional dari memerlukan bantuan sedang menjadi memerlukan bantuan minimal. Conclusion: pemberian intervensi Fisioterapi berupa breathing exercise, ankle pumping, pelvic floor exercise,dan latihan mobilisasi dapat mengurangi nyeri pasca operasi, mengurangi udem, dan meningkatkan kemampuan fungsional pasien.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4287Management Fisioterapi pada Kasus Split Thickness Skin Graft: Studi Kasus2024-08-07T08:37:51+07:00Zulnanda Hendra[email protected]Totok Budi Santoso[email protected]Nilam Nur Hamidah[email protected]<p>Latar Belakang: Luka bakar merupakan cedera yang terjadi pada jaringan kulit atau jaringan lain yang disebabkan karena gesekan, benda panas atau radiasi, listrik,. Pada pasien dengan luka bakar Sebagian atau seluruh ketebalan, split-thickness skin graft (STSG) dianggap sebagai pengobatan utama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil dari manajemen fisioterapi pada kasus STSG dengan pemberian intervensi berupa TENS, Ultrasound (US), Scar Massage, Active exercise, Passive Exercise, Isometric Exercise, Strengthening Exercise. Presentasi Kasus: Seorang pasien laki-laki berusia 42 tahun datang mengeluhkan rasa sakit ketika menekuk lutut dan pergelangan kaki sisi sinistra setelah dilakukan operasi STSG. Dilakukan tindakan fisioterapi dan di evaluasi dengan beberapa poin yaitu nyeri menggunakan NRS, kekuatan otot menggunakan MMT, lingkup gerak sendi menggunakan goniometer, lingkar segmen menggunakan metline, skala gatal menggunakan itching scale, dan kemampuan fungsional menggunakan Lower Extremity Fungsional Scale (LEFS) Manajement dan Hasil: Pada penelitian ini pasien mendapatkan terapi yang terdiri dari TENS, Ultrasound (US), Scar massage dan stretching exercise. Latihan tambahan yaitu diberikan stretching exercise berupa active, passive, isometric dan strengthening exercise yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot pada area genu dan sekitarnya. Pelaksanaan terapi dilakukan sebanyak tiga kali dan setelahnya dilakukan evaluasi terapi. Diskusi: Tujuan rehabilitasi fisioterapi adalah untuk mengurangi nyeri, mencegah komplikasi sekunder, dan menjadikan pasien mandiri secara fungsional sedini mungkin, serta membatasi pergerakan dan meningkatkan risiko dekondisi. Terapi fisik membantu meminimalkan kemungkinan jaringan parut mengganggu jalan pasien. Kesimpulan: Berdasarkan hasil pemberian 3 kali terapi yaitu dengan pemberian intervensi fisioterapi berupa TENS, Ultrasound (US), Scar Massage, Active Exercise, Passive Exercise, Isometric Excercise, Strengthening Exercise, yang diberikan pada pasien berusia 42 tahun terdapat pengurangan nyeri gerak, peningkatan kekuatan otot, peningkatan LGS, penurunan selisih lingkar segmen yang, penurunan skala gatal, dan peningkatan kemampuan aktifitas fungsional.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4288Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Asthma Bronchial: Case Report2024-08-07T08:40:26+07:00Nanda Dias Wulandari[email protected]W Wahyuni[email protected]P Prayitno[email protected]<p>Pendahuluan: Asthma bronchial adalah suatu penyakit heterogen yang ditandai dengan terjadinya peradangan atau penyempitan pada sistem pernapasan. Secara klinis, asthma disertai dengan peradangan saluran napas, hiperresponsif saluran napas dan keterbatasan aliran udara. Hal tersebut dapat menimbulkan gejala pernafasan seperti batuk, mengi dan sesak napas. Ketika sesak napas atau batuk tersebut terjadi maka otot-otot pernapasan akan mengalami spasme. Berdasarkan data jumlah penderita asthma di Indonesia berjumlah 4,5% dari total jumlah penduduk atau sebanyak 12 juta jiwa penderita asthma. Metode: Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan desain studi case report yang dilakukan di RS Paru Respira Bantul. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai pada tanggal 12 Februari hingga 9 Maret 2024. Studi kasus ini dilakukan pada 1 pasien Laki-laki yang berinisial Tn. D dengan umur 78 tahun dan saat ini sudah tidak bekerja. Presentasi Kasus: Pasien Tn. D yang berusia 78 tahun dengan diagnose medis Asthma Bronchial, pasien datang ke RS Paru Respira Bantul dengan keluhan sesak napas terkadang disertai mengi. Sesak napas terkadang timbul saat pasien terkena hawa dingin, biasa terjadi saat dini hari atau subuh. Management Fisioterapi: Pasien mengikuti program berupa myofascial release, Pursed Lips Breathing, Inspiratory Muscle Training (IMT) dan Endurance Exercise menggunakan static cycle. Program latihan dilakukan selama 5 kali pertemuan. Hasil dan Pembahasan: Menunjukkan pengukuran pada ekspansi thoraks yang mengalami peningkatan tetapi tidak signifikan terlihat. Menunjukkan bahwa pada pemeriksaan atau pengukuran Voldyne terdapat adanya peningkatan pada kemampuan untuk mengembangkan paru-parunya saat inspirasi. Menunjukkan bahwa pda pemeriksaan atau perhitungan peakflow terdapat adanya peningkatan pada kemampuan untuk mengeluarkan udara yang ada di paru-paru. Evaluasi endurance exercise ini menggunakan static cycle yang dilakukan selama 20-25 menit dan didapatkan hasil adanya peningkatan pada capaian HRmaks pasien. Kesimpulan: Program fisioterapi yang diberikan pada kasus Asthma Bronchial pada Tn. D berusia 78 tahun di RS Paru Respira yang dilakukan sebanyak 5 kali didapatkan hasil adanya peningkatan pada ekspansi thoraks, adanya peningkatan pada nilai tahanan Inspiratory Muscle Training (IMT), adanya peningkatan pada hasil Voldyne, adanya peningkatan pada hasil Peakflow serta adanya peningkatan kekuatan dan daya tahan paru yang dilakukan dengan menggunakan endurance exercise berupa static cycle.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4289Manajemen Fisioterapi pada Kasus Pasca Histerektomi Pervaginam Prolaps Uteri: Studi Kasus2024-08-07T08:46:45+07:00Denada Salsabila[email protected]Tiara Fatmarizka[email protected]Nurul Muflihah[email protected]<p>Pendahuluan: Prolaps uterus juga dikenal sebagai prolaps organ panggul (POP) yaitu turunnya rahim dari batas anatomi normalnya ke posisi di dalam atau di luar introitus vagina. POP adalah kondisi umum yang prevalensinya meningkat seiring bertambahnya usia, dengan mempengaruhi sekitar 40% wanita berusia di atas 50 tahun. Gejalanya berupa rasa berat pada vagina, sensasi ada benjolan yang turun ke dalam vagina, dan rasa tidak nyaman/tertekan pada panggul yang sangat mempengaruhi kualitas hidup wanita dengan POP. Pada perawatan operatif atau bedah dapat berupa histerektomi. Perawatan konservatif meliputi pelatihan otot dasar panggul (PFMT), perubahan gaya hidup, dan pengobatan estrogen, semuanya bertujuan untuk mencegah gejala dan memperburuk prolaps uteri. Presentasi Kasus: pasien dengan diagnosa medis post histerektomi pervaginam prolaps uteri mengalami permasalahan berupa nyeri pada bekas luka operasi histetrektomi di vagina, penurunan kekuatan otot dasar panggul, dan penurunan kemampuan fungsional. Manajemen dan Hasil: pasien diberikan intervensi fisioterapi berupa diaphragmatic breathing exercise, active movement exercise, pelvic floor exercise, dan latihan mobilisasi bertahap sebanyak 4 kali dan didapatkan hasil bahwa terjadi penurunan tekanan darah, penurunan nyeri (diam, tekan, gerak), peningkatan kekuatan otot dasar panggul, dan peningkatan kemampuan fungsional. Diskusi: penurunan tekanan darah dan nyeri terjadi setelah diberikan intervensi fisioterapi berupa diaphragmatic breathing exercise. Selain itu, terjadi juga peningkatan kekuatan otot dasar panggul setelah diberikan intervensi fisioterapi berupa pelvic floor exercise. Peningkatan kekuatan otot juga dapat dipengaruhi oleh nyeri yang mulai berkurang sehingga pasien tidak takut untuk bergerak atau melakukan latihan. Kemampuan fungsional pasien juga mengalami peningkatan setelah diberikan intervensi fisioterapi berupa active movement exercise dan latihan mobilisasi bertahap. Peningkatan ini juga dipengaruhi oleh kondisi umum pasien yang semakin hari semakin membaik, tekanan darah yang mulai terkontrol, dan penurunan nyeri. Kesimpulan: pemberian intervensi fisioterapi berupa diaphragmatic breathing exercise, active movement exercise, pelvic floor exercise, dan latihan mobilisasi bertahap sebanyak 4 kali dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi nyeri (diam, tekan, gerak), meningkatkan kekuatan otot dasar panggul, dan meningkatkan kemampuan fungsional pada kasus pasca histerektomi pervaginam prolaps uteri.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4290Manajemen Fisioterapi pada Tuberculosis Paru disertai Efusi Pleura Organisasi: A Case Study2024-08-07T08:49:07+07:00Alifia Putri Latifah[email protected]Isnaini Herawati[email protected]Mulatsih Nita Utami[email protected]<p>Introduction: Tuberkulosis merupakan penyakit multiorgan yang biasanya terjadi di paru-paru dan disebabkan oleh infeksi Myobacterium tuberculosis (TBC). Tuberculosis paru dapat menyebabkan permasalahan pada pernapasan obstruktif kronis seperti mengi, batuk, produksi sputum, dispnea, dan penurunan fungsional paru. Obstruksi aliran udara disebabkan karena proses penyembuhan abnormal dan respon inflamasi jangka panjang seperti penebalan pleura. Penebalan pleura residual setelah efusi TBC menjadi komplikasi yang umum, namun dampaknya untuk fungsi paru-paru dan morbiditasnya tidak diketahui. Penebalan dan kalsifikasi pleura dapat berdampak serius pada fungsi pernapasan serta kualitas hidup. Terapi nebulizer dapat digunakan pada penderita penyakit pernapasan obstruksi kronis, reaksi alergi, dan infeksi paru. Breathing exercise merupakan metode fisioterapi pernapasan yang efektif terutama dalam rehabilitasi paru. Breathing control dan Pursed lip breathing merupakan bagian dari breathing exercise. Breathing control dapat membantu untuk rileksasi dan pursed lip breathing yakni latihan dengan teknik menghembuskan napas disertai mengerucutkan bibir, dapat meningkatkan saturasi oksigen dan menurunkan respiratory rate sehingga dapat mengurangi sesak. Case Presentation: Pasien berusia 78 tahun mengeluhkan demam, sesak, dan batuk berdahak berwarna kuning. Pasien memiliki riwayat TB paru aktif pada tahun 2021. Pada bulan November 2023 pasien didiagnosis TB paru lama aktif dengan efusi pleura kiri organisasi. Nilai sesak yang diukur dengan borg scale didapatkan skor 4, respiratory rate 26x/menit, saturasi oksigen 92%, mMRC dengan skor 4. Ekspansi thoraks pada axilla 2 cm, ICS 4 2 cm, processus xipoid 3 cm. Management and Outcome: Terapi nebulizer dan breathing exercise (breathing control dan pursed lip breathing) diberikan 3 kali sehari dan dilakukan evaluasi 3 kali dalam sehari. Breathing exercise dilakukan 8 repetisi, 2 set. Terdapat peningkatan saturasi oksigen dari 92% menjadi 95%, peningkatan ekspansi sangkar thoraks pada ICS 4 dari 2 cm menjadi 2.5 cm. Conclusion: Pemberian intervensi fisioterapi dengan nebulizer dan breathing exercise dapat meningkatkan ekspansi sangkar thoraks dan saturasi oksigen. Namun perkembangannya tergantung pada kondisi pasien. Sesi fisioterapi dan observasi perlu dilakukan lebih lama agar dapat dapat diketahui perkembangan dan pengaruh intervensi tersebut dalam jangka panjang.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4291Breathing Exercise dan Mobilisasi Bertahap terhadap Kemampuan Fungsional Pada Pasien Pasca Operasi Double Valve Replacemant: Case Report2024-08-07T08:51:48+07:00Amalia Carissa Ariyanti[email protected]Suryo Saputra Perdana[email protected]Purnomo Gani[email protected]Diani Qomaradewi Indah Sari[email protected]<p>Introduction: Double valve replacement merupakan sebuah prosedur pembedahan yang bertujuan untuk mengganti dua katub yaitu katub mitral dan aorta. Periode pasca pembedahan dapat menyebabkan komplikasi oleh karena ketidakaktifan fisik sehingga menyebabkan penurunan kemampuan fungsional. Breathing exercise dan mobilisasi bertahap telah terbukti dapat membantu pasien dalam meningkatkan kemampuan fungsionalnya. Case Presentation: Pasien berusia 53 tahun dengan diagnosa medis post-op DVR e.c possible significant stenosis pada bioprostetic mitral valve (RIW MVR 2011), CHF-RHD (MS, moderate AS, moderate to severe AR, mod-severe TR) dan AF NVR mengalami gangguan respirasi dan penurunan mobilitas fisik. Management and Outcome: Case Report yang dilakukan selama 3 hari pada pasien pasca operasi Double Valve Replacement (DVR) dengan pemberian latihan breathing exercise, active exercise, stretching, serta mobilisasi bertahap dan dilakukan evaluasi setiap akhir pertemuan. Discussion: Evaluasi dilakukan dengan menggunakan instrumen pengukuran vital sign, NRS, skala borg, medline, serta ICU Mobility scale menunjukkan setelah pemberian terapi yang dilakukan 3 kali mendapatkan hasil adanya penurunan nyeri, sesak, serta peningkatan ekspansi thoraks dan peningkatan kemampuan fungsional. Conclusion: Metode Latihan berupa breathing exercise dan mobilisasi bertahap dapat memberikan pengaruh pada aspek kemampuan aktifitas dan fungsional pada pasien pasca operasi double valve replacement.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4292Manajemen Disfungsi Otot Dasar Panggul pasca Persalinan Normal dengan Intervensi DNS: Case Study2024-08-07T09:01:32+07:00Zahra Almadani[email protected]Isnaini Herawati[email protected]Galih Adhi Isak Setiawan[email protected]<p>Introduction: Persalinan normal meningkatkan risiko disfungsi dasar panggul pada wanita. Lebih dari 46% wanita yang memiliki keluhan disfungsi dasar panggul memiliki riwayat persalinan normal. Wanita dengen riwayat persalinan normal memiliki angka kejadian 58% dibandingkan mereka yang melakukan persalinan dengan caesar (43%). Dalam upaya mengurangi keluhan terkait disfungsi dasar panggul pasca persalinan normal, DNS (Dynamic Neuromuscular Stabilization) menjadi salah satu metode fisioterapi yang baru-baru ini berkembang. Case Presentation: Subjek penelitian berusia 30 tahun dengan G3P2A0 yang melakukan persalinan secara normal (post-partum spontan) dengan usia kehamilan 39 lebih 4 minggu. Anak dilahirkan secara manual aid dengan kondisi presentasi bokong (presbo). Pasien memiliki riwayat persalinan caesar 4 tahun yang lalu. Saat ini pasien mengeluhkan ketidaktuntasan dalam buang air kecil dan frekuensi buang air kecil yang cukup sering. Management and Outcome: Subjek diberikan latihan DNS selama 2 hari. Hasilnya, latihan ini mampu memberikan peningkatan dalam mengurangi ketidaktuntasan dan frekuensi buang air kecil pada ibu pasca persalinan normal. Discussion: Hasil study ini menunjukan efektifitas dari latihan dengan pendekatan DNS dalam penurunan masalah disfungsi dasar panggul. Pada total skor PDFI-20 terdapat penurunan dari 168 menjadi 150, terutama pada aspek saluran kemih yang turun menjadi 75 dari 93. Meskipun tidak terdapatnya peningkatan kontraksi otot dasar panggul yang diukur menggunakan MOS Conclusion: Manajement fisioterapi pada kasus disfungsi dasar panggul dengan metode DNS mampu memberikan mengurangi ketidaktuntasan dan frekuensi buang air kecil pada ibu pasca persalinan normal.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4365Penatalaksanaan Fisioterapi pada Post Atrial Septal Defect Closure: Studi Kasus2024-08-13T08:06:55+07:00Maryam Amirotuzakiyah[email protected]Suryo Saputra Perdana[email protected]Purnomo Gani Setiawan[email protected]Diani Qomaradewi Indah Sari[email protected]<p>Introduction Atrial Septal Defect (ASD) adalah kondisi kelainan jantung bawaan yaitu kecacatan septum atrium yang umum terjadi pada kasus kelainan jantung bawaan. Ciri unik ASD adalah perkembangan klinisnya yang lambat dengan sebagian besar saat usia anak dan remaja bebas gejala, sehingga menyebabkan keterlambatan diagnosis. Prosedur bedah jantung menyebabkan adanya nyeri pada bekas incisi, adanya komplikasi paru dan imobilisasi pada pasien dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kondisi komplikasi lainnya seperti penurunan aktivitas fungsional, penurunan kekuatan otot, penurunan sangkar thoraks, dan peningkatan sputum. Latihan mobilisasi bertahap dan active exercise diperlukan untuk mencegah munculnya komplikasi tersebut. Case Presentation: Pasien berusia 31 tahun dengan diagnosis medis post Atrial Septal Defect Closure (ATV Repair a.i A ASD II 4 cm, High flow Low resistance, L to R shunt, TR severe) dengan keluhan adanya nyeri bekas incisi dan imobilisasi. Pasien post operasi hari pertama dengan kondisi supine lying dengan alat dan selang terpasang ditubuhnya. Terdapat nyeri tekan, gerak dan diam, adanya penurunan sangkar thoraks, dan penurunan aktivitas fungsional. Management and Outcome: Studi kasus yang dilakukan selama 3 hari adalah breathing exercise, active exercise, dan mobilisasi bertahap serta dilakukan evaluasi setiap akhir pertemuan. Discussion: Intervensi fisioterapi yang diberikan pada kasus post ASD Closure adalah breathing exercise, active exercise, latihan batuk efektif, dan mobilisasi bertahap yang bertujuan untuk mengurangi nyeri bekas incisi, mengeluarkan sputum, peningkatan sangkar thoraks, memelihara fleksibilitas dan kekuatan otot serta peningkatan kemampuan fungsional.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4368Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Post ORIF Fraktur Ankle dan Split Thickness Skin Graft (STSG)2024-08-14T08:25:12+07:00Dimas Arif Alfarisyi[email protected]Suryo Saputra Perdana[email protected]Made Pradnya Paramita[email protected]<p>Pendahuluan: Skin graft merupakan tindakan yang sering dilakukan pada kasus dermatology seperti menutup luka lebar yang sulit untuk sembuh, munculnya kondisi tersebut biasanya diikuti jugan dengan cedera lainya seperti fraktur, dalam kasus ini fraktur yang terjadi adalah fraktur ankle. Fraktur ankle menjadi salah satu kasus fraktur terbanyak pertahunya dan dapat menimbulkan penurunan kemampuan fungsional bagi penderitanya. Kedua kasus tersebut dapat menimbulkan kontraktur, nyeri, dan penurunan kemampuan fungsional, maka peran fisioterapi sangat dibutuh kan dalam fase rehabilitasi. Presentasi kasus : pasien dengan usia 44 tahun mengalami kecelakaan dan mengalami fraktur pada metatarsal 5 dan calcaneus dextra serta Degloving injury yang kemamudian dilakukan penanganan berupa ORIF dan STSG. Pasien mengeluhkan masih adanya nyeri, kekakuan dan bengkak pada area ankle dextra. Hasil dan pembahasan: Dari hasil evaluasi nyeri dengan Numeric Rating Scale (NRS), evaluasi kekuatan otot dengan Manual Muscle Test (MMT), evaluasi LGS dengan Goniometer, evaluasi oedema dengan midline, dan evaluasi aktifitas fungsional dengan Foot and Akle Disability Index (FADI) didapatkan penurunan nyeri tekan dan oedema, peningkatan LGS, dan kemampuan fungsional Kesimpulan : Program fisioterapi dengan TENS, ankle Pumping, dan PNF dapat mengurangi nyeri, oedema dan peningkatkan LGS dan kemampuan fungsional.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4369Physiotherapy Management in Cases of Stiffness Elbow Joint Sinistra ec Posterior Dislocation of Elbow Joint Sinistra at RSUD Salatiga2024-08-14T08:30:22+07:00Amar Maulana Izzuddin[email protected]Dwi Rosella Komalasari[email protected]Reza Arshad Yanuar[email protected]<p>Introduction: Elbow dislocation is the second most frequently dislocated joint in adults after the shoulder. The incidence of elbow dislocations in the United States is. 7,000 per year. Elbow dislocation can cause stiffness in the elbow. This impacts pain, muscle spasms, limited range of motion and functional activities. Hence, therapy for elbow dislocation can be in the form of deep friction massage, muscle energy technique and exercise therapy. Case Presentation: This study reported a women patient, aged 21 years old with posterior elbow dislocation in sinistra side because fallen on July 2023. After a month, the patient was done for surgery at Orthopaedic Hospital of Surakarta and then referred to RSUD Salatiga to do intensive physiotherapy treatment. Management and Outcome: There were pain arround elbow by NRS, limited range of motion by goniometer, reduce muscle strength by MMT and reduced functional activities by DASH scale. Patient got deep friction massage, MET and exercise therapy 5 times Discussion: There were significant improvement form pain where tenderness (3 to 2) and movement pain (4 to 3), increasing extension range of motion from 350 to 250 especially for sagital plane, increasing muscle strength m. biceps brachii (4 to 5), as well improving score of DASH of functional activities from 5 to 25. Conclusion: Comprehensive treatment of Physiotherapy techniques gives positive effects to patient with the condition of elbow dislocation. This study might can be a reference to guide other physiotherapist doing rehabilitation to the patient with elbow dislocation.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4370Penatalaksanaan Fisioterapi pada Post Sectio Caesarea e.c. Impending Eklampsia: Studi Kasus2024-08-14T08:34:01+07:00Fitrotul Auliya[email protected]Mahendra Wahyu Dewangga[email protected]Galih Adhi Isak Setiawan[email protected]<p>Pendahuluan: pre eklampsia merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi selama kehamilan atau setelah melahirkan dimana terdapat tekanan darah tinggi dan tanda-tanda gangguan organ lain. Tekanan darah tinggi saat hamil dapat meningkatkan risiko terjadinya pre eklampsia, kelahiran prematur, solusio plasenta, dan kelahiran sesar. Sectio caesarea adalah sebuah teknik operasi untuk melahirkan janin dan hasil kehamilan melalui sayatan pada abdomen. Permasalahan yang terjadi pada kasus post sectio caesarea e.c. impending eklampsia adalah hipertensi, nyeri pada bekas luka operasi sectio caesarea di perut bawah, penurunan kekuatan otot abdominal dan pelvic floor, penurunan kemampuan fungsional, dan oedema pada ankle kanan dan kiri. Adapun intervensi fisioterapi yang dapat diberikan yaitu diaphragmatic breathing exercise, active movement exercise, knee rolling, abdominal exercise, pelvic tilting, pelvic floor exercise, dan latihan mobilisasi bertahap. Presentasi Kasus: pasien Ny. AK usia 37 tahun dengan diagnosa medis post sectio caesarea e.c. impending eklampsia mengalami permasalahan berupa hipertensi, nyeri pada bekas luka operasi sectio caesarea di perut bawah, penurunan kekuatan otot abdominal dan pelvic floor, penurunan kemampuan fungsional, dan oedema pada ankle kanan dan kiri. Intervensi dan Hasil: pasien diberikan intervensi fisioterapi berupa diaphragmatic breathing exercise, active movement exercise, knee rolling, abdominal exercise, pelvic tilting, pelvic floor exercise, dan latihan mobilisasi bertahap sebanyak 3 kali dan didapatkan hasil bahwa terjadi penurunan tekanan darah, penurunan nyeri (diam, tekan, gerak), peningkatan kekuatan otot (abdominal dan pelvic floor), peningkatan kemampuan fungsional, dan penurunan oedema pada ankle kanan dan kiri. Diskusi: penurunan tekanan darah dan nyeri terjadi setelah diberikan intervensi fisioterapi berupa diaphragmatic breathing exercise. Selain itu, terjadi juga peningkatan kekuatan otot abdominal dan pelvic floor setelah diberikan intervensi fisioterapi berupa knee rolling, abdominal exercise, pelvic tilting, dan pelvic floor exercise. Peningkatan kekuatan otot juga dapat dipengaruhi oleh nyeri yang mulai berkurang sehingga pasien tidak takut untuk bergerak atau melakukan latihan. Kemampuan fungsional pasien juga mengalami peningkatan setelah diberikan intervensi fisioterapi berupa active movement exercise dan latihan mobilisasi bertahap. Peningkatan ini juga dipengaruhi oleh kondisi umum pasien yang semakin hari semakin membaik, tekanan darah yang mulai terkontrol, dan penurunan nyeri. Oedema pada ankle kanan dan kiri juga mengalami penurunan setelah diberikan intervensi fisioterapi berupa active movement exercise anggota gerak bawah (AGB) berupa ankle pumping dan dipengaruhi oleh pemberian obat furosemide. Kesimpulan: pemberian intervensi fisioterapi berupa diaphragmatic breathing exercise, active movement exercise, knee rolling, abdominal exercise, pelvic tilting, pelvic floor exercise, dan latihan mobilisasi bertahap sebanyak 3 kali dapat untuk menurunkan tekanan darah, mengurangi nyeri (diam, tekan, gerak), meningkatkan kekuatan otot (abdominal dan pelvic floor), meningkatkan kemampuan fungsional, dan mengurangi oedema pada ankle kanan dan kiri pada kasus post sectio caesarea e.c. impending eklampsia.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4371Case Report : Metode Schroth dalam Peningkatan Kapasitas Vital Paru pada Pasien Skoliosis di RS Orthopedi Prof. dr. R Soeharso Surakarta2024-08-14T08:58:50+07:00Muhammad Hasbi Alfa Rizy[email protected]Umi Budi Rahayu[email protected]Prihantoro Larasati Mustiko[email protected]<p>Latar Belakang: Skoliosis merupakan suatu kelainan bentuk tulang belakang tiga dimensi yang abnormal. Skoliosis didiagnosis dengan mengukur besarnya deviasi tulang belakang pada radiografi di bidang koronal. Penegakan diagnosis secara klinis apabila telah menyentuh ambang batas sudut Cobb ≥ 10°. Skoliosis memiliki kumpulan permasalahan kompleks yang biasanya disertai dengan pola kelainan pernapasan yang terbatas pada hampir dua pertiga penderita dengan kurva skoliosis yang cukup besar. Metode Penelitian: Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu case report dengan single subject research yang dimana penelitian ini melibatkan seorang perempuan usia 32 tahun yang bekerja sebagai bidan di salah satu rumah sakit di daerah Boyolali, Jawa Tengah. Diagnosis medis untuk pasien Nn. M yaitu Skoliosis Idiopatik. Intervensi kepada pasien diberikan menggunakan beberapa modalitas yaitu Microwave Diathermy dan metode Schroth yang diberikan dalam 4 sesi selama 4 minggu (1 kali per minggu) dengan dilakukan pemantauan pada tiap 1 minggu sekali oleh fisioterapis bersangkutan. Hasil Penelitian: Hasil pada penelitian ini diukur setiap sesi pemberian intervensi selesai. Berdasarkan gambar 1 dan gambar 2, didapatkan bahwa terdapat perubahan pada kapasitas inspirasi paru pada pasien yang semula pada angka 1500/2600 menjadi 2200/2600 dan perubahan angle of trunk rotation (ATR) walau tidak signifikan pengukuran menggunakan scoliometri menunjukkan nilai yang semula 5° pada apex thoracal menjadi 4° dan pada apex lumbal yang semula 4° menjadi 3°. Kesimpulan: Kesimpulan pada penelitian ini adalah bahwa penggunaan metode schroth dinilai memberikan efek yang positif dalam peningkatan kapasitas vital paru. Efek yang diberikan terapi latihan menggunakan metode Schroth juga memberikan efek lainnya berupa penurunan ATR pada pasien sehingga menurunkan tingkat risiko deformitas dari skoliosis.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4372Rehabilitasi Jantung Fase 2 Pasien dengan Triple Valve Replacement di RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah Bali: Studi Kasus2024-08-14T09:03:02+07:00Karina Damayanti[email protected]Wahyu Tri Sudaryanto[email protected]I Putu Aditya Pratama[email protected]<p>Pendahuluan: Gagal jantung atau Heart Failure (HF) adalah sindrom klinis yang ditandai dengan kumpulan gejala yang sering disebabkan oleh kelainan struktural dan/atau fungsional jantung yang mengakibatkan berkurangnya fungsi jantung. Komplikasi pasca operasi perawatan katup jantung meningkatkan sedasi dan bedrest, menyebabkan ketidakaktifan fisik dan kelemahan otot dalam jangka waktu yang lama. sehingga menghalangi pasien untuk kembali ke kemampuan fungsional normal. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada Rehabilitasi Jantung fase 2 pada pasien yang menjalani Triple Valve Replacement (TVR), dari pemeriksaan awal fisioterapi, intervensi, dan evaluasi hasil yang didapatkan. Presentasi Kasus: Pasien usia 40 tahun dengan diagnosa post TVR e.c. ADHF Profil B e.c. definite IE dengan keluhan penuruan kemampuan fungsional jantung dan paru dengan disertai komorbid Hipertensi, DM dan aritmia. EF BP 58,5%. Hasil VO2Max di dapatkan 3,4 METs. Management dan Outcome: Latihan aerobik berupa pemanasan, jalan, dan sepeda statis digunakan untuk Rehabilitasi Jantung fase 2. Setelah 12 kali terapi didapatkan hasil terjadi peningkatan dari jarak tempuh dan penurunan derajat sesak nafas serta hasil TTV (TD, nadi & SpO2) terpantau stabil pada pre dan post. Namun pada hasil VO2Max tidak di dapatkan hasil yang signifikan. Diskusi: Latihan aerobik dapat meningkatkan kemampuan kapasitas aerobik terutama pada jarak yang mampu di tempuh dan derajat sesak nafasnya. Namun peningkatan VO2Max akan terlihat signifikan setelah 6 bulan – 1 tahun. Komorbid yang dimiliki pasien akan menjadi penghambat untuk percepatan pemulihan kapasitas Aerobik. Kesimpulan: Rehabilitasi Jantung pada pasien TVR dapat meningkatkan kapasitas aerobik jika dulakukan rutin dan dengan dosis yang tepat namun tidak akan terjadi peningkatan jika rehabilitasi tidak dilakukan dengan baik sesuai dengan intervensi yang direncanakan.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4373Tatalaksana Fisioterapi dan Penggunaan Metode Pursed Lip Breathing pada Pasien PPOK Tipe D2024-08-14T10:00:55+07:00Agriastari Dwiputri Harun Umbu Nay[email protected]Agus Widodo[email protected]Fatonah Sulistyowati[email protected]<p>Introduction: PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) atau COPD (chronic obstructive pulmonary disease) adalah penyakit kronis dan progresif pada saluran napas dan paru yang ditandai dengan obstruksi bronkus yang tidak dapat di sembuhkan. Pada Kondisi PPOK dinding paru mengalami gangguan pengembangan paru ditandai dengan perubahan remodeling vaslukalar utama karena melibatkan pengingkatan penebalan pada intima arteru paru karena proliferasi sel otot polos yang berorintasi longitudinal tanpa adanya perbedaan yang signifkan dalam komponen matriks seluler dan ektaseller serta penebalan yang menyebabkan penurunan diameter lumen arteri. Salah satu intervensi pada kondisi PPOK adalah dengan menggunakan metode Pursed Lip Breathing yang dapat membantu meringkankan gelaja sesak napas<br />Case Presentation: Pasien atas nama Tn. S usia 54 tahun mengeluhkan sesak napas berat dan dan batuk berdahak berdasarkan diagnosis medis pasien menderita PPOK type D. Pasien mengeluhkan sesak napas karena melakukan aktivitas berlebih sepert menjahit, lalu merasakan batuk berdahak yang sering muncul saat pagi hari.<br />Management and Outcome: Diberikan nebulizer terlebih dahulu dengan bantuan bronkodilator berupa Meprovent dan Budesma 0,5 selama 15 menit dan diberikan Pursed lips breathing dan breathing control. Untuk outcome pada pasien PPOK menggunakan The modified MRC (Medical Research Council) dyspnea Scale. Alat ukur ini berupa kuisioer yang terdiri dari lima pernyataan tentang sesak napas didapati skore MRC dyspnea scale yaitu 3.<br />Discussion: Metode Pursed lip breathing dengan prinsip membuat inspirasi lebih Panjang dari pada ekspirasi pada kondisi PPOK adalah bertujuan untuk membantu pasien mengendalikan frekuensi pernapasan yang abnormal pada pasien dengan PPOK, yaitu dari pernapasan yang dangkal dan cepat berubah menjadai pernapasan yang dalam dan lambat. Teknik pursed lips breathing merupakan salah satu teknik pernapasan yang mudah digunakan dan tidak membutuhkan alat bantu apapun dalam proses pelaksanaannya serta memiliki pengaruh besar terhadap proses bernapas dan oksigenisasi pasien PPOK<br />Conclusion: Hasil dari kasus diatas setelah diberikannya bronkodilator dan juga teknik pursed lip breathing exercise serta breathing control terjadi penurunan sesak napas.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4375Manajemen Fisioterapi pada Kasus Post Posterior Cruciate Ligament Reconstruction (PCLR): Studi Kasus2024-08-14T10:52:10+07:00Devi Arthamevia Kurniady[email protected]Mahendra Wahyu Dewangga[email protected]Sigit Saputro[email protected]<p>Pendahuluan: Posterior cruciate ligament adalah salah satu dari empat ligamen utama di sendi lutut dan bertanggung jawab untuk menstabilkan tibia di dalam tulang paha. PCL berfungsi untuk menahan gaya varus, valgus, dan rotasi eksternal. Cedera PCL disebabkan oleh gaya anterior ekstrem yang bekerja pada tibia proksimal pada lutut yang tertekuk. PCL juga bisa terluka karena terjatuh ke depan dengan lutut ditekuk. Penyebab paling umum cedera PCL adalah kecelakaan dalam berkendara dan cedera olahraga. Presentasi kasus: Pasien mengalami keterbatasan gerak dan nyeri saat fleksi lutut kanan sehingga menghambat aktivitas sehari-hari. Pasien mengalami cedera olahraga ketika bermain sepak bola yaitu karena pasien ditekel oleh lawan main dari samping kiri. Setelah kejadian pasien mencoba berjalan kecil dan merasakan belakang lutut seperti ditusuk jarum. Pasien mendatangi rumah sakit dan melakukan MRI dengan hasil ruptur PCL kanan. Pasien mengeluhkan nyeri gerak dan nyeri tekan pada area lutut kanan, kelemahan otot fleksor dan ekstensor, penurunan rentang gerak sendi. Manajemen dan Hasil: Pasien diberikan latihan fase 2 berupa quadriceps setting, gluteus setting, SLR, hold bridging, isotonic bridging, ankle therraband, calf raise, balance training (single leg), squat, steup up dan lateral step up box 20 cm, leg press, static cycle, dan plank. Evaluasi yang diukur oleh peneliti berupa evaluasi nyeri menggunakan NRS, evaluasi kekuatan otot dengan MMT, evaluasi LGS menggunakan goniometer, evaluasi atrofi otot menggunakan midline, dan evaluasi kemampuan fungsional menggunakan lysholm knee score index. Diskusi: Berdasarkan intervensi yang diberikan ditemukan hasil bahwa latihan penguatan mempunyai manfaat pada pasien pasca rekonstruksi PCL fase akut yang memiliki tujuan perlindungan maksimal pada healing graft, menjaga tonus otot paha depan, mempertahankan ekstensi lutut penuh, pengendalian nyeri dan edema, meningkatkan propioseptif, stabilisasi otot core, serta meingkatkan rentang gerak sendi fleksi lutut Kesimpulan: Kesimpulan yang didapatkan pada pasien dengan kasus PCLR fase 2 setelah diberikan intervensi fisioterapi berupa modalitas kompres es dan exercise yang dilakukan sebanyak 4x menunjukkan hasil berupa penurunan nyeri, peningkatan kekuatan otot, pengurangan atrofi otot, peningkatan lingkup gerak sendi, dan peningkatan kemampuan fungsional.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4376Manajemen Fisioterapi pada Kasus Post Anterior Cruciate Ligament Recontruction (ACLR): Studi Kasus2024-08-14T11:13:44+07:00Nawang Galih Wijayandari[email protected]Suryo Saputra Perdana[email protected]Sigit Saputro[email protected]<p>Pendahuluan: Anterior Cruciate Ligament (ACL) merupakan suatu ligamen yang memiliki fungsi sebagai penstabil tibia saat berpindah ke arah anterior serta saat lutut melakukan rotasi. Robekan ACL yang melebihi 50 % atau robekan total dapat menyebabkan ketidakstabilan sendi lutut sehingga direkomendasikan untuk menjalani operasi rekontruksi ACL yang selanjutnya pasien post ACLR membutuhkan rehabilitasi. Presentasi kasus: pasien dengan diagnosa post ACLR dengan keluhan utama nyeri dan keterbatasan gerak pada lutut kiri. Manajemen dan hasil: pasien diberikan latihan fase 1 berupa heel slide, quariceps setting, hamstring setting, dan ankle theraband serta kompres es sebelum dan setelah latihan. Evaluasi yang diukur oleh peneliti berupa evaluasi nyeri menggunakan NRS, evaluasi kekuatan otot menggunakan MMT, evaluasi LGS menggunakan goniometer, evaluasi odem menggunakan meterline, dan evaluasi kemampuan fungsional menggunakan lyshom index. Diskusi: Program rehabilitasi post rekonstruksi ACL berupa serangkaian program yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi lutut dalam keadaan normal. Peregangan yang dilakukan selama latihan akan merangsang tendon sehingga menimbulkan efek relaksasi, kontraksi, dan peregangan yang akan memperbaiki gangguan fleksibilitas otot dan akan meningkat kekuatan otot. Kesimpulan: Pemberian latihan dan kompres es sebelum dan sesudah melakukan latihan yang dilakukan sebanyak 3x terhadap Tn. WP di Klinik Ibest Solo didapatkan hasil penurunan nyeri, meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan lingkup gerak sendi, mengurangi odem, dan meningkatkan kemampuan fungsional.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4377Penatalaksanaan Fisioterapi pada Penderita Pneumothorax: Case Report Study2024-08-14T11:15:58+07:00Ryan Juniano Abimayu[email protected]Suryo Saputra Perdana[email protected]Multasih Nita Utami[email protected]<p>Introduction Pneumothorax adalah suatu kondisi dimana terdapat udara dirongga pleura. Pneumotoraks terjadi 2% - 6,3% per 100.000 penduduk pertahun dengan laki-laki lebih banyak dibandingkan Perempuan. Pneumothoraks dibagi menjadi dua, spontan yaitu terjadi tanpa adanya trauma atau sebab lainnya, dan traumatic yang terjadi karena adanya trauma langsung atau tidak langsung terhadap dada, termasuk didalamnua adalah penumothoraks iatrogenic. Pneumothorax dibagi menjadi primer dan sekunder. Pneumothoraks spontan primer terjadi tanpa adanya penyakit paru sebelumnya. Sedangkan pneumothoraks spontan sekunder merupakan komplikasi dari penyakit paru yang sudah diderita pasien Case Presentation: Pasien laki-laki yang bernama Tn. AS berusia 29 tahun masuk ke ruang rawat inap RSUD Dungus madiun dan pada tanggal 27 Desember 2023 bertemu dengan fisioterapi, pasien memiliki diagnose penumothoraks spontan Management and Outcome: Intervensi yang diberikan pada penelitian ini adalah nebulizer yang berisi obat fluticasone propionate 2 ml, pursed lip breathing, breathing control. Evaluasi yang dilaksanakan yaitu saturasi oksigen, ekspansi sangkar thoraks, dan pemeriksaan kemampuan fungsional menggunakan mMRC Discussion: Program fisioterapi yang diberikan selama 4 kali pertemuan adalah nebulizer dengan obat fluticasone propionate 2 ml memiliki mekanisme kerja sebagai anti inflamasi dan imunosupresan yang dapat membantu tercapainya tujuan terapi dan berupaya meminimalisir dampak gejala, meningkatkan tingkat aktivitas fisik dan mengurangi risiko, pursed lip breathing bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi, meningkatkan volume paru, memperlancar jalannya pernafasan, breathing control bertujuan untuk pengaturan nafas agar irama pola nafas teratur serta memaksimalkan kinerja otot bantu pernafasan Conclusion: Program fisioterapi yang diberikan selama 4 kali pertemuan adalah nebulizer dengan pemberian oban fluticasone propionate 2ml, pursed lip breathing, breathing control didapatkan bahwa setelah menjalani program fisioterapi pasien mengalami sedikit perubahan sehingga pola pernapasan pasien sedikit lebih baik.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4378Manajemen Fisioterapi pada Kasus Benigh Prostate Dysplasia pasca Transurethral Resection of The Prostate: Studi Kasus2024-08-14T11:19:05+07:00Paradise Adhiibah[email protected]Arin Supriyadi[email protected]Galih Adhi Isak Setiawan[email protected]<p>Pendahuluan Benign Prostate Hyperplasia (BPH) mengacu pada pertumbuhan non-ganas atau hiperplasia jaringan prostat dan merupakan penyebab umum lower urinary tract symptoms (LUTS) pada pria lanjut usia. Salah satu tindakan yang paling banyak dilakukan pada pasien dengan BPH adalah tindakan pembedahan Trationnsurethral Resection Of the Prostate (TURP). Pada pembedahan BPH jarang terjadi, tetapi 30-40% klien mengalami inkontinensia urin dini. Disfungsi ereksi juga merupakan salah satu dampak post operasi TURP. Pelvic floor exercise mampu meringankan bahkan menyembuhkan inkontinensia urin atau ketidakmampuan menahan BAK. Presentasi kasus: pasien dengan diagnosa post Transurethral Resection of the Prostate (TURP) ec Benign Prostate Hyperplasia. Pasien seorang pensiunan dan banyak beraktivitas di rumah. Pasien menjalankan operasi pada tanggal 4 Desember 2023. Manajemen dan hasil: Pasien diberikan intervensi berupa breathing exercise dan pelvic floor exercise. Pengukuran yang dilakukan peneliti yaitu untuk mengevaluasi nyeri, keparahan inkontinensia urin, ejakulasi dini, disfungsi ereksi, dan fungsional seksual. Diskusi: Pelvic floor exercise atau senam kegel adalah latihan yang dapat memperkuat otot dasar panggul, pelvic floor exercise dapat meningkatkan fungsi sfingter dan otot daerah genital. Pelvic floor exercise bertujuan untuk mengatasi inkontinensia urin pada wanita dan pria. Pelvic floor exercise juga dapat membantu pemulihan organ genital setelah persalinan, permasalahan usus dan memulihkan kesulitan ereksi pada pria. Kesimpulan: Pemberian intervensi breathing exercise dan pelvic floor exercise pada pasien post operapi TURP dapat menurunkan nyeri namun belum terlihat hasilnya untuk menurunkan keparahan inkontinensia urin pada pasien.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4380Manajemen Fisioterapi pada Kasus Cervical Root Syndrome: A Case Study2024-08-14T13:21:05+07:00Fatati Nurainni Putri[email protected]Adnan Faris Naufal[email protected]Sri Yunanto[email protected]<p>Introduction: Cervical Root Syndrome merupakan peradangan akar saraf dengan prevalensi tertinggi pada akar saraf C6 dan C7 yang memicu reseptor nyeri yang ada di jaringan lunak dan sendi tulang belakang leher sehingga menyebabkan hilangnya atau perubahan sensasi, mati rasa dan kesemutan pada ekstremitas atas, kelemahan otot pada lengan, tangan, leher atau daerah tulang belikat serta nyeri di sepanjang jalur saraf ke tangan dan lengan. Case Presentation: Pasien seorang wanita usia 54 tahun datang ke Unit Rehabilitas Medik RSUD Bagas Waras Klaten dengan keluhan nyeri leher yang menjalar sampai ke lengan kanan disertai mati rasa pada jari-jari. Nyeri dirasakan sejak 1 bulan yang lalu dan bertambah saat melakukan aktivitas rumah tangga. Aktivitas yang memperparah rasa nyeri saat melihat ke atas dan menoleh ke kiri. Nyeri berkurang saat tidur dan setelah mengonsumsi obat nyeri. Pasien merupakan seorang karyawan laundry setrika yang aktivitas sehari-harinya lebih banyak pada posisi duduk. Management and Outcome: Pasien menerima intervensi terapi sebanyak 3 kali dengan modalitas fisioterapi berupa TENS, neural mobilization, dan latihan isometrik cervical. Evaluasi pasien menggunakan Numeric Pain Rating Scale (NPRS), lingkup gerak sendi dengan metline, dan kemampuan fungsional dengan Neck Disability Index (NDI). Discussion:Setelah dilakukan terapi sebanyak 3 kali dengan TENS, neural mobilization dan latihan isometrik cervical, penurunan nyeri dan peningkatan lingkup gerak sendi serta peningkatan kemampuan fungsional. Conclusion: Program fisioterapi yang diberikan selama 3 kali pertemuan dengan modalitas TENS, neural mobilization dan latihan isometrik cervical mampu mengurangi nyeri, meningkatkan lingkup gerak sendi, dan meningkatkan kemampuan fungsional.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4381Manajemen Fisioterapi pada Post PCI et Causa CAD 3VD: Studi Kasus2024-08-14T13:30:53+07:00Kofifah Indri Nurhayati[email protected]Isnaini Herawati[email protected]I Putu Aditya Pratama[email protected]<p>Penndahuluan : Coronary Artery Disease (CAD) merupakan suatu gangguan fungsi jantung yang disebabkan karena adanya penyempitan dan tersumbatnya pembuluh darah jantung. Akibatnya proses pembuluh darah arteri menyempit dan mengeras, sehingga jantung kekurangan pasokan darah yang kaya oksigen. Kondisi ini dapat mengakibatkan perubahan pada berbagai aspek, baik fisik, psikologis, maupun sosial yang berakibat pada penurunan kapasitas fungsional jantung dan kenyamanan. Presentasi Kasus: Pasien laki-laki usi 76 tahun dengan diagnosa Post PCI et causa CAD datang ke fisioterapi untuk melakukan rehabilitasi jantung fase 2 pasca operasi sekitar satu bulan yang lalu. Manajemen dan Hasil: Program rehabilitasi fese 2 diberikan kepada pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kemandirian dan meningkatkan aktifitas fungsional pasien. Fisioterapis memberikan latihan aerobic berdasarkan Panduan Rehabilitasi Kardiovaskuler (PERKI). Latihan diawali dengan pemanasan selama 10 menit, dilanjutkan dengan latihan inti dengan treadmill. Pada pertemuan pertama kecepatan 3,8 km/jam dengan jarak 900 meter dan waktu selama 15 menit. Dilakukan selama 2 sesi, pertemuan kedua kecepatan 4,1 km/jam dengan jarak 1000 meter dan waktu selama 15 menit. Dilakukan selama 2 sesi, dan pertemuan ketiga kecepatan 4,4 km/jam dengan jarak 1100 meter dan waktu selama 15 menit. Dilakukan selama 2 sesi. Diakhiri dengan pendinginan 10 menit. Hasil yang diperoleh dalam kajian ini, terdapat peningkatan jarak 6MWT pasien mampu berjalan 479 meter dengan skor 5,2 METs dan HRWSI 1,03 setelah dilakukan program fisioteropi. Kesimpulan : Pada pasien program rehabilitasi kardiovaskuler fase 2 setelah diberikan latihan terjadi peningkatan kapasitas aerobic dari skor METs sebesar 3,56 menjadi 5,2.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4382Manajemen Fisioterapi pada Spinal Cord Injury et causa Spine Tuberculosis di RSUD Saiful Anwar Malang: A Case Study2024-08-14T13:36:23+07:00Hena Aura Putri[email protected]Mahendra Wahyu Dewangga[email protected]Melur Belinda[email protected]<p>Introduction: Spinal Cord Injury adalah kondisi medis yang terjadi pada kerusakan sumsum tulang belakang yang menyebabkan disfungsi motoric, sensorik dan otonom. Kerusakan SCI dibagi menjadi dua yaitu traumsatic (kecelakaan) dan non traumatic (infeksi dan kanker). Case Presentation: Seorang pelajar wanita berusia 21 Tahun dengan riwayat Spine Tuberculosis sehingga mengakibatkan terjadinya kompresi atau disebut Spondilytis Tuberculosis yang diaanjurkan untuk melakukan Operasi. Management and Outcome: Kombinasi Breathing Exercise, Motor Training, Walking Exercise, Balance Training, Training Unsupported Sitting, NMES memberikan hasil yang cukup baik dalam meningkatkan kemampuan fisik, daya tahan, fungsional serta kemampuan koordinasi dan keseimbangan. Discussion: Beberapa artikel yang ditemukan memberikan kesamaan dengan memberikan latihan fisik sebagai rehabilitasi yang efektif guna meningkatkan kemampuan fungsional dan kualitas hidup pasien. Conclusion: Manajemen fisioterapi dengan rehabilitasi dini serta mengoptimalkan dan memfokuskan aktivitas fisik seperti Breathing Exercise, Motor Training, Walking Exercise, Balance Training, Training Unsupported Sitting, NMES mremberikan hasil yang bagus jika dilakukan secara rutin dan memaksimalkan kemampuan pasien.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4383Manajemen Fisioterapi pada Kasus post Orif Open Fracture os Humerus Sinistra 1/3 Cranial ad Contractionum: A Case Report2024-08-14T13:41:11+07:00Alifa Akbar[email protected]Suryo Saputra Perdana[email protected]Reza Arshad Yanuar[email protected]<p>Introduction: Fisioterapi adalah salah satu ilmu dibidang kesehatan yang berhubungan dengan fungsi gerak tubuh. Bentuk pengobatan fisioterapi bermacam-macam bisa menggunakan latihan olahraga khusus, penguluran otot dan bermacam macam teknik serta alat khusus. Nyeri karena bekas incisi setelah operasi pasti akan dirasakan oleh pasien, sehingga perlu dilakukan penanganan medis setelahnya, seperti fisioterapi. Case Presentation: pasien dengan diagnosa oleh dokter Open fracture os Humerus sinistra 1/3 cranial ad contractionum dan Open fracture os radius sinistra 1/3 distal ad contractionum dilakukan operasi pemasangan plat and screw di humerus dan pemasangan wire di radial. Keluhan utama pasien yaitu pada lengan atas dan pergelangan tangan sebelah kiri terasa nyeri ketika digunakan untuk melakukan aktivitas sehari hari seperti mengambil benda yang ada diatas kepala dan menggenggam sesuatu. Management and Outcome: Intervensi yang diberikan menggunakan modalitas alat Infra red dan beberapa latihan seperti active exercise, pasif exercise serta contract relax. Evaluasi yang diukur oleh peneliti meliputi evaluasi nyeri, kekuatan otot, LGS, odem dan kemampuan fungsional. Pengukuran evaluasi dilakukan diawal pertemuan untuk sesi pertama dan diakhir pertemuan untuk sesi kedua sampai ke empat. Discussion: Pada pasien post op frakture dirasa sangat diperlukan mobilisasi dini seperti pasif exercise untuk mencegah terjadinya komplikasi post op seperti kekakuan, atrofi otot maupun perlengketan sendi synovial. Conclusion: Pemberian modalitas IR yang digabungkan dengan latihan contract relax, active serta pasif exercise yang dilakukan sebanyak 4x terhadap Ny. R di RSUD Salatiga dapat mengurangi nyeri, meningkatkan kekuatan otot, menambah fleksibilitas / LGS, mengurangi odem dan meningkatkan kemampuan fungsional.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4384Program Fisioterapi pada Keluhan Ischialgia: Case Report Study2024-08-14T13:43:41+07:00M Maulidya[email protected]Suryo Saputra Perdana[email protected]Dyah Wahyu Utami[email protected]<p>Latar Belakang: Ischialgia ialah peradangan nervus ischiadicus di karenakan penjepitan pada nervus ischiadicus sehingga terjadi nyeri yang menjalar sepanjang tungkai. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas dari pemberian Infrared (IR), Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), Strengthening exercise dan Stretching pada kondisi Ischialgia. Hasil: Pemberian intervensi fisioterapi berupa pemberian Infrared (IR), Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), Strengthening exercise dan Stretching dapat memberikan hasil berupa peningkatan pada kemampuan fungsional dan kekuatan otot serta penurunan pada nyeri. Kesimpulan: Program fisioterapi yang diberikan pada kasus ischialgia sebanyak 6 kali yang dilakukan 2 kali seminggu selama 3 minggu didapatkan hasil peningkatan pada kemampuan fungsional dan kekuatan otot serta penurunan pada nyeri.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4386Efek Latihan dengan Teknik Close Kinetic Chain terhadap Peningkatan Lingkup Gerak Sendi Lutut dan Kemampuan Fungsional Lutut pada Pasien Pasca Rekonstruksi ACL (ACLR): A Case Report2024-08-15T08:51:01+07:00Tri Mukti Handayani[email protected]Arif Pristianto[email protected]Halim Mardianto[email protected]<p>Introduction: ACL (Anterior Cruciate Ligament) is a ligament that helps stabilize the knee joint. This ligament is most frequently injured, usually occurring in football, basketball and other sports players. ACL injuries occur with high frequency in the United States, while in Indonesia, ACL injuries are the second most common case. ACL reconstruction (ACLR) is recommended and proven to be a very effective technique and usually provides satisfactory results. However, several complications will arise after undergoing ACLR in various ways, such as social status and function, functional ability, and the patient's quality of life, so a rehabilitation process is needed. Case Presentation: The article is a case report study with a teenage male patient in RSD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang (brother D, 16 years old; height: 167 cm; weight: 50 kg; BMI: 17.9; occupation: student; hobby: football) post ACLR autograft hamstring 2 months ago on the left side of the knee. Patients entering the 2nd phase of rehabilitation are currently being given close kinetic chain exercises to increase the range of motion of the knee joint and the functional ability of the knee which will be evaluated using a goniometer and International Knee Documentation Committee (IKDC) evaluation form. Management and Outcome: Exercises using the Close kinetic chain technique can increase the range of motion of the knee joint and improve the functional ability of the patient's knee. Exercises are given after ACL reconstruction during phase 2 rehabilitation. Discussion: Training is carried out 3 times a week with training sessions lasting approximately 2 hours. The exercises given are static bike, squatting exercises, andclose kinetic chain exercise in the form of squats, lunges, single leg stance, and wall slides. Exercise can increase muscle strength, stability and muscle flexibility so that it can increase the range of motion of the joint in knee flexion movements and the functional ability of the knee. Conclusion: Special exercise programs provided by physiotherapy have an important role in the rehabilitation process. Static bike training, squat training, etcclose kinetic chain exercise in the form of squats, lunges, single leg stance, and wall slides are given to overcome condition problems after ACLR, especially in phase 2.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4387Manajemen Fisioterapi pada Kasus Bell's Palsy: Studi Kasus2024-08-15T09:03:06+07:00Halimatus Sadiah[email protected]Wahyu Tri Sudaryanto[email protected]A Astuti[email protected]<p>Introduction: Bell's palsy adalah neuropati wajah perifer akut dan merupakan salah satu penyebab paling sering kelumpuhan wajah neuron motorik bawah. Bell's palsy adalah neuropati kranial umum yang menyebabkan paresis otot wajah atau kelumpuhan total pada satu sisi, terjadi secara tiba-tiba dan dapat berkembang selama 48 jam. Penyakit ini disebabkan oleh disfungsi saraf wajah akibat trauma atau peradangan pada saraf kranial ke-7 atau saraf wajah atau cabang-cabangnya di sepanjang jalurnya. Bells Palsy ini mempengaruhi fungsional wajah seseorang, sehingga peran penting fisioterapi dalam proses pemulihan fungsional wajah Case Presentation Pasien usia 50 tahun mengeluhkan mata kanan yang tidak bisa berkedip, kesulitan mengangkat alis dan bibir nya merot kearah kanan saat bangun tidur . pada pemeriksaan spesifik terdapat penurunan kekuatan otot salah satu sisi wajah . Pasien menjalani fisioterapi di RSUD Ibu Fatmawati Kota Surakarta dengan diagnosa kasus ini yaitu Bell's Palsy. Management and Outcome: Keluhan pasien yang mengindikasikan terjadinya bells palsy dan ketidaksimetrisan wajah serta kelemahan pada salah satu sisi wajah Program fisioterapi dibutuhkan untuk meningkatkan kekuatan otot sisi wajah yang lesi dan meningkatkan kemampuan aktifitas fungsional wajah dengan menggunakan infrared dan Neuromuscular Electrical stimulation (NMES), Mirror Exercise dan Massage Wajah . Discussion: Mirror Exercise adalah suatu bentuk terapi motorik yang melibatkan penempatan cermin pada bidang midsagital pasien, memantulkan anggota tubuh atau bagian tubuh yang tidak terpengaruh ke sisi yang terkena, menciptakan ilusi gerakan normal pada sisi yang lesi. Tindakan fisioterapi salah satunya berfungsi untuk meningkatkan sirkulasi di area wajah dan memberikan relaksasi pada pasien. Kesimpulan:Penatalaksanaan fisioterapi pada pasien Bell's Palsy dengan menggunakan infrared, NMES dan Mirror Exercise serta Massage Wajah selama 6 pertemuan dapat meningkatkan kemampuan fungsional wajah pasien dan meningkatkan kekuatan otot wajah pasien yang lemah.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4388Penatalaksanaan Rehabilitasi Fisioterapi pada Kasus Pasca Rekonstruksi Anterior Cruciate Ligament Sinistra Fase 2: A Case Report2024-08-15T09:08:53+07:00Lidya Hardalena[email protected]W Wahyuni[email protected]Halim Mardianto[email protected]<p>Pendahuluan: Aktivitas fisik yang berlebihan atau olahraga dapat menimbulkan resiko terkena cedera. Cedera olahraga biasa terjadi karena adanya cedera yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Cedera Anterior Cruciate Ligament (ACL) adalah cedera lutut yang umum terjadi saat berolahraga. Cedera ini umumnya terjadi pada olahraga yang melibatkan gerakan zig-zag, perubahan arah gerakan, perubahan kecepatan yang mendadak seperti pada olahraga sepak bola, basket, bola voli, dan futsal. Komplikasi yang terjadi setelah rekonstruksi ACL adalah keterbatasan gerakan terutama gerakan fleksi knee yang dapat mengakibtakan kelemahan otot, kesulitan berjalan dan rasa nyeri pada lutut Presentasi Kasus: Jenis studi yang digunakan dalam penelitian yaitu metode penelitian case report di RSD KRMT Wongsonegoro pada pasien laki-laki berusia 21 tahun yang merupakan seorang mahasiswa yang telah melakukan operasi rekonstruksi ACL sinistra. Pasien menjalani fisioterapi dengan kondisi dapat berjalan tanpa alat bantu tetapi pasien masih mengeluhkan nyeri dan krepitasi saat berjalan pada lutut kiri. Metode dan Hasil: Rehabilitasi fisioterapi dilakukan di RSD KRMT Wongsonegoro Semarang selama 2 minggu dengan 4 kali pertemuan dan home program di rumah pada pasien pasca rekonstruksi ACL sinistra dan didaptkan hasil penurunan rasa nyeri, meningkatakan kekuatan otot, meningkatkan lingkup gerak sendi, meningkatkan keseimbangan dan mengembalikan kemampuan aktivitas fungsional sehari-hari. Diskusi: Rehabilitasi fisioterapi fase 2 pada pasien pasca rekonstruksi ACL sinistra pada latihan awal dapat dilakukan dengan jenis latihan menggunakan berat badan, latihan resistance, latihan keseimbangan dan latihan koordinasi. Latihan yang dilakukan selama terapi yaitu statis bycyle, squat, lunges, dan step up dapat mengurangi keterbatasan gerakan lutut dan meningkatkan kemampuan fungsional Kesimpulan: Rehabilitasi fisioterapi fase 2 pasca rekonstruksi ACL sinistra terbukti dapat menurunkan rasa nyeri, meningkatakan kekuatan otot, meningkatkan lingkup gerak sendi, meningkatkan keseimbangan dan mengembalikan kemampuan aktivitas fungsional sehari-hari.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4389Physiotherapy Approach in Woman after Total Hysterectomy Surgery at PKU Muhammadiyah Yogyakarta Hospital: A Case Report2024-08-15T09:11:49+07:00Yulia Nafizah Mawarni[email protected]Agus Widodo[email protected]Galih Adhi Ishak[email protected]<p>Introduction: Myoma uterine is a benign tumor in the uterus that contributes significantly to the morbidity rate worldwide. One of the surgical procedures that can be performed to remove uterine fibroids with hysterectomy. Postoperative hysterectomy is associated with a variety of complications, so an effective approach is required to prevent complications. Physiotherapy plays a role in helping recovery by avoiding and minimizing post-operative complications as well as providing rehabilitation to support the return of physical function and the patient effectively achieving a positive impact. Case Presentation: The subject is a woman, a 42-year-old office worker, in hospital after total abdominal hysterectomy with abdomen incision techniques (pfannenstiel). Has a history of constant pain during menstruation for a year and has been found to have uterine fibroids in the fundus. Management and Outcome: The intervention was given for three days after total hysterectomy surgery by providing a breathing exercise training program, circulation exercise, deep muscle activation, early transfer-ambulation exercise and bodyweight resistance exercise. Measurement and evaluation were carried out using the Numeric Rating Scale (NRS) for pain assessment. Urinary incontinence symptoms using the Questionnaire for Female Urinary Incontinence Diagnosis (QUID). Functional ability assessment using Kenny Self Care Evaluation (KSCE). Uterine Fibroid Symptom & Health-Related Quality of Life Questionnaire (UFS-QOL) to measure symptoms and evaluate health-related quality of life in women with uterine myoma. Discussion: According to the traditional view, staying on the bed after surgery should be done to reduce pain and speed wound healing, but not a few studies found that post-surgical staying has negative effects and increases the risk of complications. Various studies have found that early exercise and rapid rehabilitation interventions prevent and minimize post-abdominal surgery complications. There is pain in incisions, anxiety of reverse incision rupture, postoperative fatigue, anxiousness and other reasons patients refuse to get up from bed as well as most patients do not know how to exercise early and regulate activity after surgery, so post-operative intervention plays a role in determining whether patients can effectively a positive impact. Conclusion: This study showed that a physiotherapeutic exercise program given to patients with post-total abdominal hysterectomy was shown to reduce the level of pain, strengthen the pelvic floor muscle thus decreasing urinary incontinence, and improve the ability of functional activity.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4390Efektifitas Pemberian Proprioceptive Neuromuscular Facilitation Rhythmic Initiation dan Repeated Stretch pada Kasus Bell's Palsy Sinistra: A Case Study2024-08-15T09:17:10+07:00Eri Fersiana Safitri[email protected]W Wijianto[email protected]S Sukatwo[email protected]<p>Introduction: Bell's palsy merupakan suatu kondisi yang melibatkan kelumpuhan saraf kranial ketujuh atau Facial Nerve. Insiden tahunan Bell's palsy adalah 15-30 kasus per 100.000 orang. Saraf wajah memiliki fungsi sensorik maupun motorik, gejala pada Bell's palsy dapat berupa defisit motorik dan sensorik seperti kelemahan otot wajah, tidak simetris wajah, kehilangan ekspresi wajah dan kemampuan fungsional seperti makan dan berbicara, serta kehilangan rasa pengecapan 2/3 anterior lidah. Case Presentation: Pasien wanita berusia 34 tahun dengan diagnosis medis Bell's palsy sinistra dengan keluhan wajah merot, tidak dapat menutup mata, tersenyum, mengerutkan dahi dan bersiul secara sempurna. Management and Outcome: Pemberian PNF dengan Teknik Rhythmic Initiation dan Repeated stretch sebanyak 4 kali dalam 2 minggu. Bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kemampuan fungsional dan inisiasi gerakan pada wajah. Evaluasi kekuatan otot menggunakan MMT dan kemampuan fungsional wajah menggunakan Ugo Fisch Discussion: Intervensi PNF dengan Teknik Rhythmic initiation dan Repeated stretch merangsang terjadinya kontraksi gerakan pada otot wajah serta otot wajah terfasilitasi ketika terjadinya gerakan. Teknik PNF wajah membantu menstimulasi otot-otot wajah yang melemah dengan prinsip iradiasi. Conclusion: Pemberian Teknik Proprioceptive Neuromuscular Facilitation efektif dalam meningkatkan kekuatan otot yang diukur menggunakan MMT wajah dan peningkatan kemampuan fungsional wajah diukur menggunakan Ugo Fisch.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4391Management Fisioterapi pasca Rekonstruksi Anterior Cruciate Ligament Dextra di RSD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang: Studi Kasus2024-08-15T09:20:33+07:00Farah Afifah Badzlina[email protected]Taufik Eko Susilo[email protected]Halim Mardianto[email protected]<p>Introduction: ACL injuries are common in sports like futsal and soccer, with 45% and 68% occurring due to non-contact injuries. Grade 2 and 3 injuries often result from tears. Post-reconstruction, physiotherapy is necessary to allow the patient to return to activities. There are five phases after ACL reconstruction. Case Presentation: A 20-year-old male patient was diagnosed with a total right ACL tear and experienced pain and limited range of motion. Therapy is conducted twice a week, with the patient entering phase 2. Physiotherapy interventions include strengthening exercises, squats, lunges, and one leg stance on various surfaces. Management and Outcome: Therapy is carried out 2 times every week and while the intervention is being given, the patient has started to enter phase 2. Physiotherapy interventions are given, such as Strengthening exercise, a combination of squats, lunges, and one leg stance on a mini mat, on a trampoline, and on a ballance ball reversed. Evaluations include muscle strength, joint range of motion, and functional ability using the Tegner Lysholm knee scoring scale. Discussion: Strengthening exercises are given before entering the next phase, and cryotherapy may aid tissue recovery. After four physiotherapy interventions, the patient experienced an increase in LGS, extra knee muscle strength, and functional ability. Conclusion: The post anterior cruciate ligament reconstruction phase 2 patients underwent four physiotherapy interventions, resulting in an increase in LGS, dextra knee muscle strength, and functional knee functional ability.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4392Manajemen Fisioterapi pada Penderita Interstitial Lung Disease di RSUD Dungus Madiun: Case Report2024-08-15T09:24:48+07:00Annisa Firsita Motik[email protected]Dwi Rosella Komalasari[email protected]Mulatsih Nita Utami[email protected]<p>Introduction: Interstitial Lung Disease merupakan sekumpulan penyakit paru yang ditandai dengan adanya fibrosis atau jaringan parut di jaringan interstitial. Kondisi ini dapat mempengaruhi kemampuan paru-paru untuk mendapatkan cukup oksigen, sehingga akan mengalami kesulitan dalam bernapas, kelelahan, dan penurunan toleransi aktivitas. Case Presentation: Case report ini merupakan single subject research, dimana subjek diberikan intervensi fisioterapi sebanyak 9x terapi dan dilakukan evaluasi untuk melihat efek dari pemberian terapi yaitu nebulizer, breathing control, pursed lip breathing, TEE (thoracic expansion exercise), dan stretching otot sternocleiodomastoideus pada kondisi Interstitial Lung Disease. Management and Outcome: Intervensi fisioterapi yang diberikan berdasarkan hasil dari assessment subjektif dan objektif pasien. Pemberian intervensi fisioterapi dilakukan sebanyak 9x dalam waktu 3 hari, dan dilakukan evaluasi sebanyak 2x dalam sehari. Outcome yang di evaluasi adalah vital sign, ekspansi thorax, skala sesak, serta kemampuan fungsional. Hasil studi adalah vital sign cenderung stabil, adanya peningkatan ekspansi thorax, serta skala sesak dan kemampuan fungsional tetap memiliki skor yang sama. Discussion: Pemberian intervensi nebulizer diberikan untuk melonggarkan jalan napas sehingga mucus dapat keluar, breathing control untuk memperbaiki pola napas, pursed lip breathing (PLB) mengurangi sesak dengan meningkatkan compliance paru untuk melatih otot pernapasan agar berfungsi dengan baik, TEE (thoracic expansion exercise) untuk meningkatkan ekspansi thorax, serta stretching otot sternocleiodomastoideus untuk mengurangi tightness/kekakuan akibat overuse. Conclusion: Manajemen fisioterapi berupa nebulizer, breathing control, pursed lip breathing, TEE (thoracic expansion exercise) dapat mengurangi sesak, memperbaiki pola pernapasan, meningkatkan ekspansi thorax, serta mempertahankan kemampuan fungsional pasien.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4393Management Fisioterapi pada Kasus Drop Foot e.c. Morbus Hansen Multi Basiler dengan Xerosis dan Ulcus2024-08-15T09:32:03+07:00Arifah Az Zahra[email protected]W Wijianto[email protected]Teguh Prihastomo[email protected]<p>Introduction: Morbus Hansen atau biasa dikenal Kusta adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh sejenis bakteri yang disebut Mycobacterium leprae dan menyerang kulit, saraf perifer, mukosa saluran pernapasan bagian atas, dan mata. Kusta dapat mengganggu kelembapan kulit yang menyebabkan xerosis. kusta biasanya dapat disembuhkan dan jarang menyebabkan kematian, tetapi dapat menyebabkan cacat. Salah satu masalah yang timbul akibat penyakit kusta ini adalah kelemahan atau lesi saraf peroneus, yang merupakan kelumpuhan otot anterior dan lateral pada kaki karena cedera atau kerusakan saraf peroneus. Ini juga dikenal sebagai istilah drop foot. Case Presentation: Penelitian ini dilakukan dengan meneliti seorang pasien jenis kelamin laki-laki usia 42 tahun yang didiagnosa Drop Foot Bilateral et causa Morbus Hansen Multi Basiler dengan Xerosis dan Ulcus. Dengan tujuan untuk mengetahui manfaat dari modalitas fisioterapi berupa Electrical stimulation, Stretching exercise, Terapi Latihan, dan Oiling. Management and Outcome: setelah dilakukan Tindakan fisioterapi sebanyak 3 kali pertemuan selama 3 dengan durasi 45 menit setiap pertemuan. didapatkan peningkatkan kekuatan otot pada dorsi fleksi, eversi dan inversi ankle dextra 1 poin, dan peningkatan lingkup gerak dextra dan sinistra sebanyak 5 derajat. Namun belum mengalami peningkatan pada kelembapan kulit dan belum mengalami perubahan pada kemampuan fungsional. Discussion: Belum adanya peningkatan yang signifikan dalam aspek-aspek pemeriksaan secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan kerusakan pada saraf membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sembuh dari pada otot. Karena fungsi saraf mengirimkan impuls listrik ke otot, ketika otot mengalami kerusakan, implus listrik yang dikirim ke otot akan terganggu dan berkurang, yang berarti otot tidak dapat melakukan fungsinya dengan baik. Oleh karena itu, sangat memungkinkan terjadinya peningkatan apabila waktu pertemuan untuk evaluasi diperpanjang. Total dari dilakukan terapi hingga evaluasi yaitu 3 kali pertemuan selama 2 minggu dengan durassi 45 menit setiap pertemuan. Conclusion: berdasarkan penelitian pada studi kasus ini menunjukkan bahwa modalitas fisioterapi pada kasus Drop Foot e.c morbus hansen multi basiler dengan xerosis dan ulcus berupa Electrical Stimulation, Stretching exercise, Terapi Latihan, dan Oiling dapat meningkatkan kekuatan otot dan peningkatan lingkup gerak sendi meskipun belum signifikan.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4394Management Fisioterapi pada Kasus Multiple Sclerosis: Studi Kasus2024-08-15T09:39:04+07:00Cindy Kartika Arimbi[email protected]W Wahyuni[email protected]Melur Belinda[email protected]<p>Introduction: Multiple Sclerosis (MS) merupakan suatu kondisi ketika sistem kekebalan tubuh mengeluarkan reaksi abnormal dan menyerang sistem saraf pusat yang menyebabkan defisit keseimbangan dan gaya berjalan, kekejangan, peningkatan risiko jatuh, disfungsi kognitif, penglihatan, pernapasan, kelemahan otot dan kelelahan. Biasanya didiagnosis antara usia 20–50 tahun. Menurut National Multiple Sclerosis Society yang berbasis di AS, rehabilitasi MS membantu pasien mencapai dan mempertahankan potensi fisik, salah satunya yaitu dengan fisioterapi. Case Presentation: Seorang pasien perempuan 29 tahun mengeluhkan tubuhnya tiba-tiba terasa lemas dengan kelemahan pada kedua kakinya yaitu pada otot fleksor dan ekstensornya. Nyeri yang dirasakan hilang timbul di setiap sendi tetapi lebih nyeri dari pinggang hingga ke kedua tungkai dan nyeri bertambah ketika saat ingin berdiri maupun kembali ke duduk. Pasien mengalami keterbatasan Lingkup gerak sendi pada kedua ankle saat dorsofleksi dan ekstensi knee nya. Serta adanya gangguan sensoris dan aktivitas fungsional. Pasien memeriksakan keadaannya ke dokter di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang, Jawa Timur dengan hasil dari lab lumbal pungsi menunjukkan bahwa pasien di diagnosa sebagai Multiple Sclerosis. Kemudian dirujuk ke rehabilitasi medik dan mendapat penanganan fisioterapi. Management and Outcome: Pasien diberikan intervensi berupa TENS, NMES, DNS, mobilisasi bertahap serta terapi latihan. Setelah diberikan intervensi selama 4x didapatkan hasil yaitu adanya penurunan nyeri diam dan nyeri gerak, adanya peningkatan LGS, tetapi belum adanya peningkatan pada kekuatan otot, sistem sensoris, maupun aktivitas fungsionalnya. Discussion: Intervensi TENS dapat mengurangi nyeri dan NMES dapat memberikan stimulasi pada otot yang bertujuan untuk penguatan otot dan mencegah kelemahan otot atau atrofi otot. Serta tujuan DNS yaitu pendekatan manual dan rehabilitatif untuk mengoptimalkan sistem pergerakan. Terapi latihan dapat membantu meningkatkan kekuatan otot, mobilisasi bertahap dapat meningkatkan aktifitas fungsional serta stimulasi sensoris untuk menstimulasi sistem sensoris dengan cara stimulasi taktil. Conclusion: Management fisioterapi pada kasus MS dengan intervensi TENS, NMES, DNS, mobilisasi bertahap, stimulasi sensoris yang dilakukan selama 4x terapi didapatkan hasil adanya penurunan nyeri diam dan nyeri gerak, adanya peningkatan LGS pada ekstensi knee dan dorsofleksi ankle akan tetapi belum ada peningkatan kekuatan otot, belum muncul sensibilitas pada kulit, serta aktifitas fungsionalnya.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4395Managemen Fisioterapi pada Kasus Cerebral Palsy Spastik Quadriplegi: Case Report2024-08-15T09:42:15+07:00Raihanah Nur Saadah[email protected]Dwi Rosella Komalasari[email protected]Salma Muazarroh[email protected]<p>Pendahuluan: Cerebral Palsy merupakan kelainan permanen pada anak, kelainan ini menyebabkan berubahnya postur dan gerak yang disebabkan karena keterbatasan dalam beraktifitas. Kelainan ini disebabkan karena gangguan non-progresif pada fase awal perkembangan otak janin atau bayi. Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui efek penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Cerebral Palsy spastik quadriplegi. Case Presentation: yaitu single subject research yang didasarkan pada anak laki-laki usia 6 tahun dengan diagnosis Cerebral Palsy spastik quadriplegi. Pemberian intervensi selama 4 kali pertemuan dalam jangka waktu 1 bulan. Management and Outcome: neurosenso motor reflex, Myofascial Release, neuro developmental treatment dan head control. Conclutions: Pada penelitian ini belum didapatkan perubahan pada spastisitas otot, kemampuan sensoris, gross motor serta activity daily living pada anak dengan kondisi Cerebral Palsy spastik quadriplegi. Penulis berharap pada penelitian yang akan datang dapat melakukan penelitian dalam jangka waktu yang lebih lama untuk mengetahui efek pemberian intervesi fisioterapi pada anak Cerebral Palsy quadriplegi.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4396Validity and Reliability of The Numeric Rating Scale in Non-Myogenic Low Back Pain Patients2024-08-15T09:47:36+07:00Faradila Risky Adha[email protected]Dwi Rosella Komalasari[email protected]<p>Introduction: Pain is the main problem in LBP that can reduce quality of life. Several tools are used to determine the pain, including Numeric Rating Scale (NRS). NRS need validity and reliability to evaluate pain. Objective: To determine the validity and intra-rater and inter-rater reliability of the NRS in Non-Myogenic Low Back Pain patients. Methods: This research was an observational study with a methodological approach using a purposive sampling technique. The total sample were 55 people. Results: The validity of NRS showed well with p<0.001 and r calculated was higher than 0.9 (higher than r table=0.260). SEM value: 0.20 and MDC: 0.55. While, intra-rater and inter-rater reliability of NRS was very high, with Cronbach Alpha and ICC being more than 0.9 and p<0.05. Conclusion: The NRS was valid and reliable in terms of intra-rater and inter-rater for measuring the level of pain in non-myogenic low back pain.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4397Management Fisioterapi pada Kasus Sindrom Obstruksi Pasca Tuberculosis (SOPT): Studi Kasus2024-08-15T13:50:48+07:00Zahwa Putri Nurhandrita[email protected]Agus Widodo[email protected]P Prayitno[email protected]<p>Pendahuluan: Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) adalah kondisi yang ditandai dengan adanya obstruksi saluran napas yang ditemukan pada pasien pasca Tuberculosis dengan lesi paru minimal. Kerusakan paru yang terjadi pada saluran pernapasan obstruksi adalah komplikasi yang terjadi pada sebagian besar penderita tuberculosis pasca pengobatan, dengan gejala sisa yang paling sering ditemukan yaitu gangguan faal paru Presentasi Kasus: Pasien mengeluhkan sesak napas saat beraktivitas berat dan ketika naik turuntangga serta terkadang disertai menggeh-menggeh. Ketika dilakukan pemeriksaan pasien mengalami sesak napas sedang, spasme m.upper trapezius, penurunan sangkar thoraks, dan penurunan kapasitas paru. Management dan Hasil: Dengan pemberian intervensi MWD, breathing exercise, dan endurance setelah 4 kali pertemuan fisioterapi didapatkan hasil perubahan spasme pada pertemuan keempat sudah tidak ada spasme. Pada hasil sesak napas dengan skala Borg didapatkan T1:3 menjadi T4:1. Pada hasil ekspansi sangkar thoraks terutama pada axilla dengan menggunakan meterline T1:3,5 cm menjadi T4: 4 cm. Pada hasil kapasitas paru dengan menggunakan voldyne T1:700 ml (40%) menjadi T4: 800 ml (46%) sedangkan dengan peakflow meter T1: 180 ml (41,8%) menjadi T4: 300 ml (69,7%). Diskusi: Pada pasien dengan SOPT ini mengalami disfungsi paru-paru mulai dari sesak napas ringan hingga penurunan kualitas hidup yang dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Sehingga diberikannya perlakuan fisioterapi secara progresif akan memberikan perubahan kepada pasien. Kesimpulan: Management fisioterapi pada kasus SOPT memberikan efek positif pada penurunan spasme otot upper trapezius dan sesak napas, serta peningkatan sangkar thoraks, dan kapasistas paru.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4398Penatalaksanaan Fisioterapi pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK): Case Report Study2024-08-15T13:54:20+07:00Afrilia Saras Pratamasiwi[email protected]Suryo Saputra Perdana[email protected]P Prayitno[email protected]<p>Introduction: Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit paru yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara paru dan dapat disebabkan oleh paparan zat berbahaya ditandai dengan gejala pernafasan yang persisten dan keterbatasan aliran udara yang bersifat progresif serta tidak sepenuhnya reversibel. Selain disfungsi pernapasan, disfungsi otot dan gangguan keseimbangan juga terlihat pada individu dengan PPOK. Case Presentation: Pasien dengan diagnose dokter mengalami PPOK mengeluhkan sesak nafas yang sudah dirasakan sejak 2018 dan disertai batuk berdahak. Sesak nafas memberat Ketika bangun tidur di pagi hari serta Ketika beraktivitas pasien merasakan cepat Lelah. Pasien juga merupakan perokok berat sejak masih muda tetapi pasien sekarang ini sudah berhenti untuk merokok. Riwayat keluarga pasien tidak ada yang mengalami sakit serupa hanya saja pasien berada di lingkungan keluarga yang terdapat perokok aktif. Management and Outcome: intervensi fisioterapi yang diberikan pada penelitian ini adalah dengan pemberian pursed lip breathing dan thoracic expansion exercise. Evaluasi yang dinilai meliputi kapasitas paru, ekspansi sangkar thorax, dan aktivitas fungsional. Discussion: Program fisioterapi untuk kasus PPOK pada tiga kali pertemuan bertujuan untuk peningkatan kapasitas paru – paru dan kemampuan fungsional. Dengan pursed lip breathing penderita dapat meredakan sesak napas, menurunkan kerja pernapasan, dan meningkatkan pertukaran gas. Pemberian thoracic expansion exercise menyebabkan adanya gerakan dinding dada dengan inspirasi maksimal lalu mengeluarkan udara sebanyak mungkin. Conclusion: Setelah pasien diberikan tiga kali terapi di Rumah Sakit Respira Yogyakarta diperoleh hasil bahwa terdapat peningkatan pada ekspansi thoraks di setiap pertemuan dan peningkatan kapasitas paru.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4399Pengaruh Pemberian Tendon Gliding Exercise terhadap Penurunan Nyeri pada Carpal Tunnel Syndrome: Case Report2024-08-15T13:57:25+07:00Rahmawati Cahya Ningrum[email protected]Arin Supriyadi[email protected]Anis Dwi Charisa[email protected]<p>Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan kondisi neurologis yang umum terjadi, ditandai dengan adanya kompresi pada saraf medianus di pergelangan tangan. Salah satu manifestasi utama CTS adalah nyeri pada pergelangan tangan yang dapat memengaruhi aktivitas sehari-hari. Tendon gliding exercise telah diusulkan sebagai salah satu intervensi non-invasif yang mungkin efektif dalam mengurangi nyeri pada CTS. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian tendon gliding exercise terhadap penurunan nyeri pada pasien dengan Carpal Tunnel Syndrome. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus (case report). Seorang pasien perempuan berusia 52 tahun dengan diagnosis CTS diberikan terapi tendon gliding exercise sebanyak 3 kali dalam seminggu. Pengukuran nyeri dilakukan sebelum dan setelah intervensi menggunakan Numerical Rating Scale (NRS). Selain itu, pengukuran paresthesia juga dilakukan menggunakan Visual Analog Scale (VAS). Setelah menjalani terapi tendon gliding exercise, terjadi penurunan signifikan dalam tingkat nyeri pada pasien. Pengukuran dengan NRS menunjukkan penurunan nyeri diam, nyeri tekan, dan nyeri gerak dari T0 hingga T3. Pengukuran dengan VAS juga menunjukkan penurunan paresthesia pada kondisi diam, ditekan, dan saat bergerak.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4400Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kondisi Carpal Tunnel Syndrom di RSJD dr. RM. Soedjarwadi Prov. Jawa Tengah: A Case Study2024-08-15T14:00:08+07:00Alifia Fitria Ningsih[email protected]Taufik Eko Susilo[email protected]S Sukatwa[email protected]<p>Introduction: Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan kelainan yg disebabkan oleh penekanan saraf medianus pada terowongan karpal di pergelangan tangan. Penekanan saraf medianus mengakibatkan mobilitas saraf terbatas yang ditandai dengan timbulnya rasa nyeri, parestesia, kesemutan, dan hilangnya sensasi pada persarafan saraf medianus. Fisioterapis memberikan tindakan seperti terapi ultrasound dan terapi latihan dengan teknik neurodinamik exercise (nerve gliding exercise). Case Presentation: Pasien atas nama Ny. S berusia 62 tahun yang kegiatan sehari-harinya adalah bertani. Pasien sudah mengeluhkan rasa nyeri dan kesemutan selama satu tahun, kemudian rasa nyeri semakin meningkat sejak 3 bulan yang lalu, sehingga menghambat aktivitas sehari-hari akibat nyeri. Management and Outcome: pemberian ultrasound dengan dosis frekuensi: 1 MHz, intensitas: 2.5 w/cm2, tipe: continuos, waktu: 3 menit, dan neurodinamik exercise dengan frekuensi: 3x/seminggu, repetisi: 10-15x/gerakan. Parameter yang digunakan untuk evaluasi yaitu menggunakan NPRS, MMT dan WHDI. Discussion: Terjadi penurunan nyeri dan peningkatan kemampuan fungsional diakhir evaluasi. Hal tersebut juga dipengaruhi dengan pasien yang mengurangi aktivitas penggunan tangan kanan. Penggunaan modalitas ultrasound dan neurodinamik exercise dapat membantu meringankan gejala yang dirasakan pasien dengan carpal tunnel syndrome. Conclusion: penatalaksanaan fisioterapi dengan pemberian ultrasound mampu menurunkan rasa nyeri, dan pemberian neurodinamik exercise mampu meningkatkan kekuatan otot dan meningkatkan kemampuan fungsional tangan.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4401Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Golfer Elbow Dextra dengan Ultrasound, Laser, dan Exercise2024-08-15T14:05:15+07:00M Matasim[email protected]Wahyu Tri Sudaryanto[email protected]Melur Belinda[email protected]<p>Pendahuluan: Golfer Elbow adalah cedera berlebihan yang ditandai dengan tendinosis angiofibroblastik yang berasal dari fleksor-pronator umum, umumnya merespons pengobatan nonoperatif. Degenerasi tendon fleksor-pronator terjadi dengan ekstensi paksa pergelangan tangan dan supinasi lengan bawah yang berulang-ulang selama aktivitas yang melibatkan fleksi pergelangan tangan dan pronasi lengan bawah. Presentasi Kasus: Pasien Tn.D, 43 tahun, mengeluhkan nyeri pada lengan bagian bawah dekat dengan siku, nyeri semakin terasa ketika melakukan aktivitas sehari-hari (menggenggam setir mobil, mengambil gayung mandi, menarik jemuran). nyeri pertama kali muncul setelah bermain tennis lapangan dengan gerakan tangan forehand terus menerus tanpa henti. Pada tes khusus, Golfer Elbow Test positif serta Mill Test positif. Hasil dan pembahasan: Pasien menjalani dua kali fisioterapi dengan tindakan Ultrasound, Laser, dan exercise. Evaluasi terdiri dari pengukuran nyeri dengan NRS dan pengukuran kekuatan otot dengan MMT. Diskusi: Tujuan program fisioterapi pada golf elbow adalah untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan kekuatan otot. Modalitas yang digunakan berupa Ultrasound, Laser, dan Exercise. Kesimpulan: Penatalaksanaan Fisioterapi pada kasus Golf Elbow dengan intervensi Ultrasound (US), Laser, dan Exercise dua kali pertemuan membuktikan hasil signifikan. Hasilnya Penurunan nyeri dan peningkatan kekuatan otot pada elbow.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4402Manajemen Fisioterapi pada Kasus Osteoarthritis Knee Bilateral di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo: Case Report2024-08-15T14:09:28+07:00Najla Lutfhi Azzahra[email protected]Dwi Rosella Komalasari[email protected]Priyanika Candra Sari[email protected]<p>Pendahuluan: Seiring bertambahnya usia, maka semakin banyak permasalahan degeneratif yang dialami oleh lansia, salah satunya yaitu Osteoarthritis Knee. Osteoarthritis Knee merupakan penyakit sendi degeneratif yang biasanya disebabkan oleh keausan dan hilangnya tulang rawan artikular secara progresif yang berdampak pada penurunan fungsi fisik. Presentasi Kasus: Seorang pasien laki-laki berusia 65 tahun sebagai pensiunan teknisi mesin mengeluhkan nyeri dan kaku pada kedua lututnya namun lebih berat pada lutut kiri daripada lutut kanan sejak 5 bulan yang lalu (Juni 2023). Pasien merasakan nyeri saat posisi jongkok ke berdiri dan naik turun tangga. Berdasarkan hasil inspeksi statis didapatkan postur tubuh pasien kifosis, bentuk kaki pasien normal, sedangkan pada inspeksi dinamis terlihat langkah kaki pasien saat berjalan terlihat pendek. Hasil palpasi didapatkan bahwa tidak terdapat bengkak pada knee joint dan suhu normal pada knee joint. Hasil pemeriksaan fisik oleh fisioterapi didapatkan adanya nyeri tekan dan nyeri gerak knee joint, penurunan kekuatan otot hamstring dan quadriceps, dan keterbatasan lingkup gerak sendi fleksi knee joint. Manajemen dan Hasil: Setelah diberikan intervensi fisioterapi berupa Infrared (IR), Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), dan exercise berupa range of motion exercise (heel slide) dan resistance exercise sebanyak 3 kali diperoleh hasil bahwa terdapat penurunan nyeri tekan dan nyeri gerak pada knee joint, peningkatan lingkup gerak sendi fleksi knee joint, peningkatan kekuatan otot fleksor dan ekstensor knee joint, dan peningkatan kemampuan fungsional pada pasien. Pembahasan: Infrared berfungsi untuk menstimulasi reseptor panas sehingga mengurangi rasa nyeri serta meningkatkan kekuatan otot. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) banyak digunakan dalam penatalaksanaan OA Knee untuk mengurangi nyeri dan memfasilitasi kinerja aktivitas terapeutik untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan fungsi. Exercise therapy merupakan salah satu terapi latihan non-farmakologis yang sangat utama untuk OA knee yang telah terbukti menunda perkembangan penyakit, menghilangkan rasa sakit, dan meningkatkan fungsi lutut. Beberapa jenis latihan untuk OA Knee, yaitu resistance exercise atau latihan ketahanan untuk memperkuat otot di sekitar lutut dan range of motion exercise untuk menambah lingkup gerak sendi. Kesimpulan: Intervensi fisioterapi berupa Infrared (IR), Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), dan exercise berupa range of motion exercise (heel slide) dan resistance exercise terbukti efektif pada kasus Osteoarthritis Knee Bilateral.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4403Penatalaksanaan Fisioterapi pada Pasien Dengan Post-Op Coronary Artery Bypass Graft (CABG): A Case Study2024-08-15T14:14:03+07:00Aprilia Nurlita Dwi Putri[email protected]Dwi Rosella Komalasari[email protected]Purnomo Gani[email protected]Diani Qomara Dewi[email protected]<p>Pendahuluan Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan tindakan pembedahan pada kasus penyakit jantung koroner dengan cara memotong dan mengganti arteri yang tersumbat dengan pembuluh darah arteri yang sehat. Pasien yang menjalani pasca operasi CABG biasanya mengalami penurunan kapasitas fungsional paru, sesak napas, nyeri, penurunan ekspansi toraks, retensi sputum, dan penurunan ventilasi paru Presentasi Kasus: seorang pasien 60 tahun datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi, Semarang dengan diagnosa medis pasca Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) et causa Coronary Artery Disease Involving 3 Vessels Disease (CAD3VD) mengeluhkan nyeri pada sekitar bekas sayatan daerah dada, kesulitan dalam batuk, sesak napas, badan terasa lemah serta leher dan pundak terasa pegal-pegal sehari setelah menjalankan operasi. Manajemen dan Hasil: intervensi fisioterapi yang diberikan pada kasus pasca operasi CABG adalah Diaphragmatic breathing exercise, Deep breathing exercise, Latihan batuk efektif, stretching otot bantu nafas, mobilisasi bertahap. Evaluasi yang dinilai adalah derajat nyeri dan sesak napas, ekspansi thoraks, dan kemampuan aktivitas fungsional pasien. Diskusi: Program fisioterapi untuk kasus pasca operasi CABG selama tiga kali pertemuan bertujuan untuk menurunkan derajat nyeri dan sesak napas, meningkatkan aktivitas fungsional serta mengeluarkan secret akibat terhalangnya jalan napas. Dengan semua banyak resiko komplikasi yang terjadi, program fisioterapi bertujuan untuk mencegah kompikasi yang telah disebutkan diatas. Kesimpulan: Setelah dilakukan fisioterapi pada kasus pasca operasi CABG (Coronary Artery Bypass Graft) dengan terapi latihan didapatkan hasil penurunan derajat nyeri dan sesak napas, peningkatan ekspansi thorak dan kemampuan kemampuan fungsional.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4404Manajemen Fisioterapi untuk Kelemahan Otot dan Gangguan Keseimbangan pada Pasien pasca Lacunar Stroke di RS Soerojo Magelang: Case Report2024-08-15T14:19:26+07:00Muhammad Mumtaz Ramadhani[email protected]Umi Budi Rahayu[email protected]Muhammad Fauzan[email protected]<p>Introduction: Sekitar 30% penderita stroke lacunar mengalami gangguan fungsional dalam periode tindak lanjut 5 tahun. Penurunan kekuatan otot pasca stroke lacunar adalah masalah utama yang membatasi fungsi ekstremitas. Gangguan keseimbangan juga merupakan tantangan besar bagi pasien pasca stroke. Gejalanya meliputi asimetri tubuh, waktu tumpuan singkat, dan kecepatan berjalan yang lambat, semuanya meningkatkan risiko jatuh. Case Presentation: Seorang perempuan berusia 61 tahun mengunjungi poli fisioterapi di RS Soerojo Magelang dengan keluhan berat pada paha depan kanan dan kiri saat berjalan dan beraktivitas sehari-hari. Pasien didiagnosis pasca stroke hemiparese kanan. Keluhan berat pada kaki pertama kali dirasakan secara tiba-tiba setelah salat subuh di masjid pada bulan Oktober 2023, sehingga membutuhkan bantuan untuk pulang. Management and Outcome: Pasien menjalani fisioterapi mingguan selama empat minggu, dengan sesi satu setengah jam yang meliputi modalitas alat, latihan penguatan, dan latihan keseimbangan. Discussion: Peningkatan terjadi pada skor manual muscle testing pada hip meliputi grup otot fleksor (2), ekstensor (2), adduktor (3), dan abduktor (3) menjadi fleksor (4), ekstensor (3), adduktor (4), dan abduktor (4). Pada knee dan ankle juga terdapat peningkatan meliputi grup otot fleksor (3), ekstensor (3), plantar fleksor (3), dan dorsi fleksor (3) menjadi fleksor (4), ekstensor (4), plantar fleksor (4), dan dorsi fleksor (4) pada pertemuan ke-4. Tidak terjadi peningkatan pada lingkar segmen ekstremitas bawah. Peningkatan skor single leg stance terjadi dari (0 detik) untuk kaki tumpuan kanan dan (2 detik) untuk tumpuan kiri menjadi (5 detik) dan (8 detik). Tercatat juga peningkatan waktu tempuh time up and go test dari (37,26 detik) pada pertemuan ke-1 menjadi (30,13 detik) pada pertemuan ke-4. Akan tetapi peningkatan skor single leg stance dan time up and go test masih di bawah nilai normatif. Conclusion: Latihan penguatan dan keseimbangan dilaporkan bermanfaat. Studi ini menunjukkan peningkatan pada kekuatan otot dan keseimbangan, meskipun tidak signifikan. Studi selanjutnya sebaiknya meningkatkan pengawasan dan jumlah pertemuan.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4405Manajemen Fisioterapi pada Post Sectio Caesarea et Causa Preeklamsia: Studi Kasus2024-08-15T14:22:19+07:00Raden Andrea Zalfa[email protected]Dwi Rosella Komalasari[email protected]Galih Adhi Isak[email protected]<p>Pendahuluan: Persalinan secara umum dibedakan menjadi 2 yaitu persalinan spontan dan persalinan dengan melakukan tindakan operasi pada bagian perut atau lebih dikenal dengan sectio caesarea atau operasi cesar, dimana keduanya memiliki dampak pasca melahirkan. Perawatan pasca melahirkan merupakan salah satu hal yang penting, terutama pasca sectio caesarea. Nyeri, bengkak, dan penurunan kekuatan otot merupakan kemungkinan yang akan terjadi yang akan mempengaruhi kinerja aktivitas fungsional seseorang. Pemberian terapi oleh fisioterapis merupakan awal untuk proses penyembuhan dari beberapa masalah tersebut dan menghindari dampak lainnya Presentasi Kasus: Ny NA, usia 42 tahun, dengan diagnosa post sectio caesarea et causa preeklamsia, mengeluhkan nyeri pada luka incisi, odema atau bengkak pada daerah pergelangan kaki, kesulitan untuk bergerak, serta mengalami keterbatasan aktivitas fungsional pada hari ke 2 dan 3 pasca operasi. Pasien dilakukan intervensi fisioterapi di rawat inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Manajemen dan Hasil: Pasien menjalani terapi dua kali dalam dua hari berturut-turut dengan program fisioterapi yang meliputi kontraksi isometrik, pelvic floor exercise, free active exercise, ankle pumping exercise, dan latihan transfer-ambulasi. Pasien dievaluasi menggunakan pengukuran nyeri dengan NPRS, LGS dengan Goniometer, odema dengan pengukuran figure of eight, dan aktivitas fungsional dengan Barthel Index Kesimpulan: Setelah mendapat intervensi fisioterapi pada kasus post sectio caesarea dengan memberikan 2x pertemuan program terapi dapat membantu mengurangi nyeri incisi, mengurangi odem, meningkatkan kekuatan otot, dan dapat meningkatkan aktivitas fungsional pasien.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4406Peran Fisioterapi dalam Pemulihan Cedera Posterior Cruriatum Ligament Grade 2 pada Fase 4: Case Report2024-08-15T16:08:46+07:00Shafira Nur Haq[email protected]W Wijianto[email protected]Hakny Maulana[email protected]<p>Introduction: Lutut adalah sendi yang penting untuk menahan beban terutama pada bidang sagital, terutama pada posisi fleksi dan ekstensi. Disekitar lutut terdapat otot-otot penstabil dinamis sendi yang menjaga integritas lutut yang bergerak. Sedangkan otot-otot yang menjaga sendi saat istirahat adalah penstabil statis. Posterior Cruarite ligament adalah ligament utama pada sendi lutut yang berfungsi untuk menstabilkan tulang tibia pada tulang paha. PCL berasal dari anterolateral condilus femoralis medial area intercondylar notch dan posterior pada area tibialis. Fungsi dari PCL adalah untuk menahan Gerakan varus,valgus, dan rotasi eksternal pada lutut. Case Presentation: Pasien seorang laki-laki berusia 22 tahun dengan diagnosis Posterior cruriatum ligament knee sinistra grade 2 fase 4. Pasien merupakan seorang mahasiswa dan sedang di terapi konservatif di klinik Sport Injury Life Surakarta pada bulan januari 2024. Management and Outcome: Pemberian Terapi konservatif yang dilakukan pada PCL knee sinistra grade 2 fase 4 pada penelitian ini yaitu berupa kompres es, muscle release,hamset, quadset, static cycle,Calf raise/ single calf raise, plank/side plank,wall squat,lunges, trampoline,ABCD cone drill,jumps box, dan stretching. Latihan pada fase 4 di penelitian ini berfokus pada strengthening, proprioception, peningkatan fleksibilitas lower leg, dan peningkatan daya tahan ADL. Pemberian program terapi konservatif ini dilakukan 3 kali setiap minggu selama 2 minggu. Penelitian ini menggunakan kuisioner LEFS untuk mengevaluasi kemampuan fungsional dari ekstremitas bawah. Conclusion: Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada kasus PCL Knee Sinistra fase 4 grade 2 yang diberikan intervensi fisioterapi selama 3x pertemuan menunjukkan efektif dalam peningkatan endurance selama latihan dan adanya peningkatan kemampuan fungsional sehari-hari. Untuk selanjutnya disarankan untuk kasus PCL (Posterior Cruciate Ligament) tidak hanya mengukur kekuatan otot pada kelompok otot Quadriceps dan Hamstring saja dan di penelitian selanjutnya dapat memodifikasi Latihan yang lebih kreatif dan inovatif daripada penelitian sebelumnya untuk menjadi perbandingan.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4407Pelvic Floor Exercise for Post Partum Spontan Induction Rehabilitation, Indications of Chronic Energy Deficiency: A Case Report2024-08-15T16:23:41+07:00Redita Salma Ayusandra Pramesti[email protected]Umi Budi Rahayu[email protected]Irma Sulistyawati[email protected]<p>Introduction: Post Partum Spontan Induction is a normal birthing process that refers to iatrogenic stimulation of uterine contractions before the start of spontaneous labor. The prevalence of induced labor increased significantly at the 41st week of pregnancy from 9.7% to 25.9%. The condition of pregnant women with the risk of chronic energy deficiency is at risk of decreasing muscle strength that helps the birth process, which can result in prolonged labor and postpartum bleeding. Case Presentation: This article was a case study of a patient at Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak Ummi Khasanah, Bantul, Yogyakarta (Mrs NA, 26 years old) after giving birth spontaneously induction due to chronic energy deficiency. The patient is given breathing exercises, active limb movement, transfer and ambulation exercises, pelvic floor exercises. Management and Outcome: Pelvic floor exercise is capable of strengthening the pelvic floor muscles and stimulating the recovery of the urogenital organs to their physiological function in post partum mothers. Discussion: The training provided is: pelvic floor exercise which aims to ensure that postpartum mothers can carry out functional activities well without any discomfort to the body parts that work during the birth process. Conclusion: Physiotherapy in the rehabilitation process for postpartum mothers is carried out 3 times over 2 days with administration pelvic floor exercise effective in reducing pain relief and increasing the patient's functional ability.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4408Management Fisioterapi pada Kasus Post Orif Fraktur Tibial Plateau Sinistra: Studi Kasus2024-08-15T16:26:41+07:00Zunitasari Kholifah Islamiatun[email protected]Agus Widodo[email protected]A Astuti[email protected]<p>Latar Belakang: Mayoritas fraktur tibial plateau adalah fraktur terisolasi pada tibial plateau lateral, yang biasanya menghasilkan valgus. Fraktur pada tibial plateau medial, di sisi lain, menghasilkan varus, lebih jarang terjadi karena sifat anatomis dan kepadatan tulang tibial plateau medial yang lebi h rendah. Tujuan dari ini adalah untuk mengetahui hasil dari management fisioterapi pada kasus post orif fraktur tibial plateau sinistra dengan pemberian intervensi berupa Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), active exercise, strengthening exercise, static cycle. Presentasi Kasus : Pasien terpeleset sehingga mengalami fraktur tibial plateau sinistra sehingga dilakukan pemasangan pen selama 1 tahun. Setelah dilakukan pelepasan pen masih merasakan nyeri, berjalan menggunakan bantuan krek, terdapat keterbatasan aktivitas fungsional. Management dan Hasil: Dengan pemberian intervensi berupa Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), active exercise, strengthening exercise, static cycle setelah 5 kali terapi mendapatkan hasil untuk nyeri gerak dari nilai 4 menjadi 3 mengguanakn alat ukur NRS. Pada kekuatan otot knee dari nilai 3 menjadi 4 menggunakan alat ukur MMT. Untuk aktivitas fungsional dari score 60,29 menjadi 50,7 menggunakan alat ukur Short Musculoskeletal Function Assessment (SMFA). Diskusi : Faktor pendukung guna mempercepat proses penyembuhan post orif fraktur tibial plateau adalah pengobatan,penyakit penyerta seperti defisiensi vitamin D, disfungsi tiroid, penyakit ginjal kronis (CKD) atau gagal hati, imunodefisiensi sistemik setelah transplantasi organ atau dengan HIV, atau osteoporosis. Serta diberikanya perlakuan terapi dengan dipantau setiap pertemuan. Kesimpulan : Kesimpulanya adalah management fisioterapi pada kasus post orif fraktur tibial plateau sinistra setelah 5 kali terapi terdapat pengurangan nyeri gerak, peningkatan kekuatan otot, peningkatan aktivitas fungsional.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4409Management Fisioterapi pada Kasus Post Orif Fraktur Humerus 1/3 Distal Dextra: Case Report2024-08-15T16:31:37+07:00Nanda Ayu Ramadhani[email protected]Totok Budi Santoso[email protected]Nur Widya Pradana[email protected]<p>Latar Belakang: Fraktur adalah hilangnya kontinunitas tulang yang disebabkan karena oleh tekanan yang tiba-tiba dan berlebihan, cedera langsung maupun cedera tidak langsung. Fraktur humerus dapat diklasifikasikan menjadi proksimal, shaft dan distal. Open Reduction Internal Fixation (ORIF) dengan Plate and Screw merupakan suatu pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur berfungsi untuk mempertahankan posisi fragmen tulang saat proses penyambungan. Pemasangan plate and screw pada tindakan ORIF menimbulkan masalah seperti nyeri, spasme otot, keterbatasan gerak dan penurunan kekuatan otot. Penatalaksanaan fisioterapi yang dapat dilakukan pada kondisi tersebut adalah dengan intervensi Infrared dan terapi latihan seperti forced passive movement, free active exercise dan hold relax. Presentasi Kasus: Pasien Ny. J usia 46 tahun dengan diagnosa Post ORIF Fraktur Humerus 1/3 Distal Dextra. Keluhan pasien yaitu nyeri pada lengan atas sampai pergelangan tangan kanan serta kaku dan keterbatasan gerak pada bahu dan siku saat digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti menyisir rambut, memakai pakaian dan mengambil benda yang terletak diatas. Setelah dilakukan pemeriksaan dengan inspeksi didapatkan adanya luka bekas incisi pada lengan atas kanan dan adanya keterbatasan gerak pada bidang gerak shoulder gerakan fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi dan internal rotasi-eksternal rotasi, sedangkan pada bidang gerak elbow terdapat keterbatasan gerak pada gerakan fleksi dan supinasi-pronasi. Manajemen Fisioterapi: Program fisioterapi yang diberikan adalah infrared dan terapi latihan berupa forced passive movement, free active exercise dan hold relax. Program fisioterapi tersebut diberikan selama lima kali pertemuan. Hasil dan Pembahasan: Setelah dilakukan terapi selama 5 kali didapatkan hasil adanya penurunan nyeri tekan pada T1:5 menjadi T5:2, nyeri gerak T1:7 menjadi T5: 4. Peningkatan kekuatan otot fleksor shoulder T1:3 menjadi T5:4, otot abduktor, adduktor, internal dan eksternal rotatator shoulder T1:4 menjadi T:5. Peningkatan kekuatan otot fleksi dan ekstensi elbow pada T1:4 menjadi T5:5. Penurunan skor SPADI pada T1:39% menjadi T5:26%. Kesimpulan: Penatalaksanaan fisioterapi dengan modalitas infrared dan terapi latihan berupa forced active exercise, free active movement dan hold relax selama lima kali pertemuan pada pasien Ny. J usia 46 tahun di RSUD Pandan Arang Boyolali didapatkan adanya penurunan nyeri, peningkatan kekuatan otot, peningkatan lingkup gerak sendi dan peningkatan kemampuan fungsional.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4410Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Wrist Stiffness Post ORIF CF Distal Radius et Ulna Sinistra2024-08-15T16:37:29+07:00Siti Handayani[email protected]Taufik Eko Susilo[email protected]A Astuti[email protected]<p>Pendahuluan: Lengan bawah menyediakan struktur tulang dan asal muasal otot yang memungkinkan tangan beroperasi dalam berbagai orientasi. Kedua tulang lengan bawah (radius dan ulna) berfungsi untuk memungkinkan fleksi dan ekstensi pada siku serta pergelangan tangan melalui sendi diarthrodial. Radius dan ulna berada dalam keseimbangan anatomi halus yang memungkinkan pronasi dan supinasi tangan dalam gerakan lengkung 180 derajat. Fraktur tulang radius dan ulna adalah salah satu cedera ortopedi yang paling umum, Presentasi Kasus : Pasien seorang perempuan dengan usia 20 tahun yang bekerja sebagai konten kreator dan merupakan pasien dengan diagnosa Wrist Stiffness Post ORIF CF Distal Radius et Ulna Sinistra dari Rumah Sakit Ibu Fatmawati Ir. Soekarno, Kota Surakarta. Penelitian dilakukan pada bulan April 2024. Pasien mengeluhkan adanya nyeri pada bagian pergelangan tangan kiri serta mengeluhkan adanya keterbatasan gerak dan kekakuan untuk digerakan. Manajemen dan Hasil : Pada penelitian ini, modalitas fisioterapi seperti Infra Red (IR) dan beberapa latihan yaitu active exercise, hold relax dan isometric exercise digunakan untuk mengetahui apakah penatalaksanaan tersebut efektif dilakukan pada kasus Wrist Stiffness Post ORIF CF Distal Radius et Ulna Sinistra dalam proses rehabilitasi. Diskusi : Pasien melakukan program rehabilitasi yang terdiri dari Infra Red, active exercise, hold relax dan wrist pumping exercise selama 3 kali dalam 3 minggu. Program terapi yang dilakukan ini bertujuan untuk mengurangi nyeri, meningkatkan kekuatan otot serta meningkatkan Range Of Motion (ROM) pada pasien. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berupa NPRS (Numeric Pain Rate Scale) untuk mengukur tingkat nyeri, Midline untuk mengukur oedema, Goniometer untuk mengukur Range Of Motion (ROM), MMT (Manual Muscle Testing) untuk mengukur kekuatan otot pasien dan Wrist Hand Disability Index (WHDI) untuk mengevaluasi kemampuan fungsional. Kesimpulan : Pada penelitian ini, diketahui pasien seorang perempuan dengan usia 20 tahun dengan diagnosis pasien Wrist Stiffness Post ORIF CF Distal Radius et Ulna Sinistra didapati hasil adanya penuruan intensitas nyeri, peningkatan kekuatan otot, peningkatassn ROM dan kemampuan aktivitas fungsional setelah diberikannya intervensi fisioterapi.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4411Manfaat Deep Breathing Exercise dan Latihan Mobilisasi Sangkar Thorax terhadap Penurunan Derajat Sesak dan Peningkatan Ekspansi Thorax pada Pasien Efusi Pleura di RSUD Dungus, Madiun: Studi Kasus2024-08-15T16:41:10+07:00Annisa Mutiara Ariyanti[email protected]W Wahyuni[email protected]Mulatsih Nita Utami[email protected]<p>Introduction: Efusi pleura merupakan kondisi patologis dimana terjadi penumpukan cairan pada rongga pleura, yaitu antara pleura visceral dan pleura parietal. Pada aspek fisioterapi pada efusi pleura akan didapatkan permasalahan sesak napas, nyeri pada area dinding dada, pola napas tidak efektif, gangguan postur, penurunan ekspansi thorak, dan keterbatasan aktivitas fungsional. Terdapat juga kelemahan atau thigtness pada otot-otot bantu pernapasan seperti scaleni, sternocleidomastoid, upper trapezius, pectoralis major, dan serratus anterior yang apabila dibiarkan dapat menyebabkan sesak napas parah dan mempengaruhi diafragma. Deep breathing exercise efektif dalam meningkatkan ekspansi thorax, mengurangi kerja pernapasan dan meningkatkan efisiensi ventilasi pernapasan, pasien menarik napas dalam melalui hidung dan ditahan 3-5 detik kemudian dihembuskan napas melalui mulut secara perlahan, latihan dapat dilakukan dengan frekuensi 3 kali sehari dengan waktu 5-10 menit. Latihan mobilisasi sangkar thorax juga dapat meningkatkan mobilitas ekspansi thorax, ventilasi pernapasan, mengkontrol inspirasi dan ekspirasi. Case Presentation: Pasien inisial Ny.S berumur 65 tahun, beragama islam. Pasien didiagnosa medis di RSUD Dungus dengan Cardiomegaly dengan efusi pleura kanan, suggestive lobar pneumonia kanan. Pasien sudah pernah dirawat di RSUD Dungus dengan keluhan yang sama 4 bulan yang lalu. Pasien mengeluhkan mual dan berat saat menarik napas, dirasakan memberat 2 minggu terakhir sebelum masuk RS. Saat ini pasien tidak bisa beraktivitas turun dari kasur dikarenakan lemas dan sesak apabila beraktivitas. Management and Outcome: Pasien diberikan intervensi fisioterapi berupa nebulizer, deep breathing exercise, mobilisasi sangkar thorax dan stretching active regio neck dan shouldher sebanyak 6 kali dalam jangka waktu 4 hari berturut-turut, untuk evaluasi dilakukan penilaian ulang dari vital sign (BP,HR,RR,Spo2), pengukuran mobiltas ekspansi thorax dengan antropometri, pola napas pasien, nyeri dengan NRS, derajat sesak napas menggunakan BORG scale, dan aktivitas fungsional dengan MRC. Discussion: Intervensi yang diberikan berupa nebulizer untuk membuka jalan napas, deep breathing exercise untuk mengatur pola napas, latihan mobilisasi sangkar thorax untuk menambah ekspansi thorass dan stretching untuk mengurangi spasme pada otot accecory muscle. Deep breathing exercise dan latihan mobilisasi thorax yang diberikan sebanyak 6 kali dapat menurunkan sesak, meningkatkan eksapansi thorax. Conclusion: Setelah terapi 6 kali dengan Nebulizer, Deep Breathing dengan mobilisasi sangkar thorax dan Stretching aktif SCM didapatkan penurunan RR, peningkatan sangkar thorax, perbaikan pola napas dan penurunan spasme pada SCM kanan dan kiri, upper trapezius dan pectoralis mayor kanan dan kiri.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4412Manajemen Fisioterapi pada Pasien Congenital Heart Failure: Studi Kasus2024-08-15T17:37:49+07:00Hana Laila Nabilah[email protected]Dwi Rosella Komalasari[email protected]I Putu Aditya Pratama[email protected]<p>Perkenalan: Congestive Heart Failure (CHF)adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat memompa darah yang mencukupi untuk kebutuhan tubuh yang dapat disebabkan oleh gangguan kemampuan otot jantung berkontraksi atau meningkatnya beban kerja dari jantung. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2016, terdapat 23 juta kematian akibat gagal jantung atau Congestive Heart Failure (CHF) pada tahun 2015, atau sekitar 54% dari seluruh kematian. Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus CHF memiliki banyak variasi tergantung dengan tindakan dan kondisi pasien. Pasien dengan riwayat CHF cenderung memiliki penurunan kemampuan fungsional sehari-hari. Presentasi Kasus: Pada kasus ini pasien laki-laki usia 67 tahun pasca Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dengan riwayat CHF. Pasien memiliki riwayat hipertensi dan suka merokok. Pasien sempat menjalani rawat inap pada tahun 2022. Kemudian kambuh kembali pada tahun 2023 dan dilakukan tindakan operasi pemasangan ring. Saat ini menjalani rehabilitasi pada fase II di PJK RSUP I.G.N.G. Ngoerah Hospital Bali. Manajemen dan Hasil: Treatment yang diberikan kepada pasien terdiri dari pemanasan, inti, dan pendinginan. Pemanasan yang dilakukan yakni senam secara berkelompok selama 10-15 menit. Untuk latihan inti diberikan latihan jalan cepat maupun jogging diatas treadmill dengan kecepatan yang ditingkatkan. Sedangkan pendinginan diberikan latihan ergo arm cycle selama 10 menit. Pemberian treatment diberikan sebanyak 12 kali dan dilakukan seminggu 5 kali. Hasil evaluasi menggunakan six minute walking test (6MWT) didapatkan peningkatan jarak, kapasitas aerobic dan Heart Rate Walking Speed Index (HRWSI). Serta terdapat penurunan tingkat lelah menggunakan borg scale. Diskusi: Pemberian rehabilitasi medik dengan bentuk exercise diketahui dapat meningkatkan fungsi endotel vaskuler dan fungsi saraf otonom serta dapat menekan sistem inflamasi dan oksidative stress pada pasien CAD. Cardiac Rehabilitation (CR) pada pasien pasca-CABG dilakukan terutama untuk memfasilitasi pemulihan setelah operasi dan untuk meningkatkan kapasitas olahraga dan kualitas hidup. Pemberian terapi atau latihan sesuai dengan pedoman. Kesimpulan:Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus CHF dengan pemberian latihan pemanasan, inti, dan pendinginan selama 12 pertemuan memiliki hasil yang relatif membaik. Berdasarkan hasil yang didapatkan berdasarkan evaluasi menggunakan six minute walking test (6MWT) terdapat peningkatan jarak dan kapasitas aerobic, serta penurunan tingkat kelelahan pada pasien.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4413Manajemen Fisioterapi pada Post Rekonstruksi PCL Fase 1: Case Report2024-08-15T17:45:38+07:00Khansa Syafira[email protected]Tiara Fatmarizka[email protected]Halim Mardianto[email protected]<p>Introduction: Football is a sport that is prone to injuries, one of which is a torn posterior cruciate ligament (PCL). The PCL is a ligament that acts as the main barrier to posterior translation of the knee. The treatment of PCL injuries is divided into 2, namely conservative (surgery) and non-conservative, depending on the severity. In conservative treatment, it is necessary to perform early mobilization after the injury to increase ROM and stability. Case Presentation: a 15-year-old patient post PCL reconstruction with complaints of, swelling in the left knee, limited Range Of Motion (ROM) and decreased of muscle strength came to RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang to carry out rehabilitation. Management and Outcome: Rehabilitation had been done three times a week to facilitate the improvement of knee ROM and muscle strength and decreased the swelling. Rehabilitation consists of quadset, SLR, Side SLR, ankle pumping, wall slide, prone hang, and gait training. Discussion: Rehabilitation immediately following conservative treatment helps to improve muscle strength and ROM and reduce knee swelling. In addition, strengthening exercises on the quadriceps muscle will help reduce the risk of further knee injury, and controlled swelling will also speed the return of muscle function. Conclusion: The present case conclude that the physiotherapy rehabilitation program on post PCL reconstruction can have a good effect on improvement of knee ROM and muscle strength.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4414Intervensi Fisioterapi pada Kasus Carpal Tunnel Syndrome: A Case Report2024-08-15T17:49:16+07:00Farikha Syifau Azzahra[email protected]Suryo Saputra Perdana[email protected]Sri Yunanto[email protected]<p>Introduction. Carpal Tunnel Syndrome (CTS) adalah penekanan pada saraf neuropati perifer yang mengakibatkan terjepitnya saraf medianus pada jalurnya di terowongan karpal yang terletak di pergelangan tangan. Intervensi fisioterapi berupa modalitas alat dan exercise menjadi pilihan yang tepat untuk mengurangi gejala yang muncul pada penderita CTS dan membantu mengembalikan aktivitas fungsional yang terganggu. Case Presentation: Pasien dengan diagnose medis berupa Carpal Tunnel Syndrome (CTS). Dengan keluhan nyeri, keterbatasan gerak pada pergelangan tangan, dan penurunan aktivitas fungsional yang melibatkan pergelangan dan jari-jari tangan. Management and Outcome: Pengukuran dan evaluasi yang dinilai meliputi nyeri menggunakan NRS, lingkup gerak sendi dan kemampuan fungsional menggunakan Wrist Hand Disability Index (WHDI). Discussion: Pada pasien CTS diperlukan intervensi yang dapat menurunkan nyeri, meningkatkan lingkup gerak sendi, dan meningkatkan kemampuan aktivitas fungsional. Conclusion: Pemberian modalitas alat berupa ultrasound dan Electrical stimulation yang dikombinasikan dengan tendon gliding exercise dan active ROM exercise pada Ny. U sebanyak 3x sesi terapi didapatkan hasil berupa penurunan nyeri, peningkatan LGS, dan kemampuan aktivitas fungsional.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 https://proceedings.ums.ac.id/apc/article/view/4415The Effect of Providing Infrared and Breathing Exercise: Breathing Control & Thoracic Expansion Exercise on Pulmonary Empyema Patients in dr. Ario Wirawan Lung Hospital in Salatiga2024-08-15T18:09:52+07:00Rhama Syuhada Sujak[email protected]Agus Widodo[email protected]Ririt Ika Lestari[email protected]<p>Introduction: Pulmonary empyema is defined as a collection of pus in the pleural cavity, commonly with gram positive bacteria, or changes in pleural fluid. Empyema is usually associated with pneumonia but can also occur following thoracic surgery or thoracic trauma. In America, there are around 32,000 cases per year. Empyema is associated with increased morbidity and mortality, approximately 20% to 30% of affected patients will die or require further surgery in the first year after experiencing empyema. The percentage of morbidity and mortality from empyema is so high, the author is interested in making empyema into a case report paper. Case Presentation: The research method used in this research is a case report study of three physiotherapy interventions on 21 December 2023, 22 December 2023, and December 27 2023 followed by home exercise education for the patient's family. The intervention is carried out from the first meeting until the patient returns home from the inpatient ward. With the following clinical status: patient Mr. A. A. is 54 years old and works as an entrepreneur with a diagnosis of left thoracic empyema and was asked for a referral for physiotherapy by a thoracic surgeon. The patient complained of chest pain when carrying out heavy activities, coughing and WSD incisional chest pain. After intensive treatment, on December 17 2023 the patient was referred to physiotherapy for intervention. Management and Outcome: Physiotherapy care in the inpatient ward for pulmonary empyema patients was carried out from 18 December 2023 to 27 December 2023. Then they underwent infrared intervention, breathing exercise therapy: breathing control & thoracic expansion exercise. Then it was found that there was an evaluation of lung functional improvement in terms of reducing pain and reducing shortness of breath. Discussion: From three meetings with the same three interventions, more evaluation and physiotherapy procedures are needed to minimize bias in increasing functional breathing capacity, reducing pain and reducing shortness of breath. Drug therapy needs to be given to support the patient's recovery in the form of Cefixime to prevent infection, and Ibuprofen as an anti-inflammatory to prevent reacting of bacteria. In this case, patient was given home medication Cefixime 2x100mg and Ibuprofen 2x4000mg. Conclusion: In pulmonary empyema patients, the provision of breathing exercise physiotherapy interventions: breathing control & thoracic expansion exercise was evaluated to reduce pain during inspiration and was able to reduce the scale of shortness of breath.</p>2024-07-25T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024